Home

Entri Populer

Sabtu, 05 Maret 2011

Perkembangan peradilan sebelum tahun 1882 (PA di Jawa)

"Dengan menggunakan pengkajian model Sosio-historis"


Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia tidak terelepas dari lintas sejarah Indonesia dan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada abad ke-7 M yang kira-kira pada abad pertama Hijriyah. Ketika itu ada pedagang mekkah yang singgah dengan rakyah di kepulauan sumatra. Mereka tetap menggunakan ajaran Islam dalam interaksi pribumi. Adapun hukum-hukumnya berdasarkan kitab-kitab fiqh yang didalamnya membadhas dari mulai thaharah, shalat, puasa, zakat  haji serta peradilan yaitu qadha’. Qadha’ atau peradilan ini dapat digunakan dengan cara menerapkan hukum yang ada apabila ada persengketaan antara penduduk. Namun karena belum sepenuhnya dilaksanakan, maka perkara-perkara (nonpidana) itu diselesaikan oleh Tahkim, yaitu ahli agama yang dengan sukarekala untuk menyelesaikan sengketa atau perkara. Perkara diserahkan kepada ahli agama dengan catatan orang yang berperkara itu akan mematuhi putusan yang dikeluarkan ahli agama yag menyelesaikan perkara itu.
Selanjutnya, dibeberapa tempat, Tahkim ini menjadi lembaga tersendiri yang disebut Peradilan Syara’. Dengan meyakinkan bahkan ada diantara tempat kerajaan, tahkim bisa berdampingan dengan raja. Dari cara tersebut, besar kemungkinan bahwa, pertama kali Peradlian Islam berkembang di indonesia ialah setelah adanya Tahkim yang merupakan ahli agama yang memutusakn perkara-perkara nonpidana diantar masyarakat.
Setelah periode tahkim, kemudian periode tauliyah ah lal wa al-aqd, yang secara singkat ceritanya, bahwa Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan wewenang sebagian peradilan kepada raja-raja seperti Samudera Pasai, Demak, dan Banten. Periode berikutnya yaitu tauliyah dari imam yang dimulai dari datangnya Islam dan diterima oleh raja-raja seperti di mataram, secara otomatis maka, Hakim pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau imam. Pada saat itu jabatan keagamaan berdampingan dengan kerajaan. Pelaksana Peradilan ada  dari mulai tigkat desa sampai pada tingkat kerajaan yang kemudian dikenal dengan Pengadilan Surambi.
Pengadilan Surambi ini didirikan pertama di Mataram sejak pemerintahan Sultan Agung, yang dalam prakteknya, Pengadilan Surambi yang dipimpin oleh Penghulu ini bagaikan penasehat Sultan Agung untuk memutuskan perkara. Jadi Sultan Agung tetap saja sebagai yang memutuskan, akan tetapi keputusannya tidak bertentangan dengan keputusan Pengadilan Surambi. Dalam menangani perkara, Sultan Agung memisahkan perkara yang diselesaikan dengan hukum Islam dan perkara yang diselesaikan dengan huum adat. Seperti perkara perkawinan, perceraian, warisan dan sebagainya diselesaikan oleh penghulu dalam memmutuskan dalam pengadilan. Penghulu beranggotakan tiga orang anggota majlis Surambi sebagai penasehat. Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan Oleh Amangkurat I (1645 M). Belanda mulai mempengaruhi sehinga alim ulama dipengadilan dikurangi dan Perngadilan Perdata dihidupkan kembali. Tahun 1677, Belanda mulai masuk pada badan-badan peradilan. Pada masa Amangkurat II yang menyerahkan sepenuhnya kepada pejabat-pejabat peradilan, dan Raja tidak ikut campur melainkan pejabat yang beratas namakan raja. Perkembangan Islam mulai surut apalagi ketika Mataram berpecah menadi Yogyakarta dan surakarta yang menjadikan peluang bagi Pemerintah Belanda untuk ikut campur dalam peradilanya.
Adapun di Priangan yang memiliki tiga macam pengadilan yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Drimaga, dan Pengadilan Cilaga. Namun dengan campur tangan Belanda, segala sesuatu itu diselesaikan dengan hukum adat dan kebiasaan. Adapun penghulu itu hanya mengurus perkawian, perceraian dan lainnya, namun tidak diberi peraturan seperti saat penghulu dan pejabat di pengadilan. Kemudian di betawi, terbentuk majlis yang berwenang menyelesaikan seua sengketa keagamaan, soal perkawinan dan pusaka sepanjang tidak ada pengeturan oleh para pihak dengan akta notaris. Pemerintah masa itu memberikan penjelasan Pasal 13 Staatsblad No. 22 Tahun 1820, yaitu :  “Apabila terjadi sengketa antar orang-orang jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapatkan pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan keada pengadilan-pengadilan biasa”. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa Hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada sebelumnya di Indonesia.
Di Surakarta dan Yogyakarta setelah dikeluarkannya Staatsblad No. 30 Tahun 1847 bahwa penghulu tidak boleh mengadili perkara yang dahulu memutuskan di Pengadilan Surambi pada masa Sultan Agung. Tahun 1848 pemerintah Hindia Belanda mula menalankan politik konkordansi dengan mengundangkan B.W. dan Kitab UU Hukum untuk orang Eropa yang ada di Indonesia yang sebenarnya ini telah lama berlaku di Belanda dari tahun 1838. Hukum yang diberlakukan oleh belanda ini berdampak pada hukum di Indonesia, khususnya tentang Peradilan Agama yang semula Peradilan agama itu percampuran hukum Islam dan Hukum adat pada masa kesultanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar