Home

Entri Populer

Selasa, 30 Agustus 2011

Keputusan Pengadilan


Keputusan Pengadilan
Keputusan pengadilan merupakan bentuk dari penerapan hukum dari peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan peristiwa tersebut merupakan perkara yang merupakan kompetensi absolut pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama. Penerapan hukum itu merupakan pengambilan hukum dari hukum yang bersifat umum, kepada peristiwa hukum yang bersifat khusus. Menurut Cik Hasan Bisri (2003: 252), “Berkenaan dengan hal itu, terdapat tiga unsur dalam keputusan pengadilan itu. Pertama, dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam keputusan pengadilan. Kedua, proses pengambilan keputusan pengadilan. Ketiga, produk keputusan pengadilan. Unsur ketiga sangat tergantung kepada unsu pertama dan kedua”.
Produk Pengadilan Agama berupa Putusan, Penetapan dan Akta perdamai­an. Selain itu, ada pula produk Pengadilan Agama yang bukan merupakan produk sidang tetapi berkekuatan hukum tetap seperti putusan sebagai akta otentik, yaitu, akta komparasi dan akta keahliwarisan.
Dalam buku Mukti Arto (2008: 251), bahwa:
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk ter­tulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, seba­gai hasil dari pemerksaan perkara permohonan (voluntair). (Lihat penjelasan pasal 60 UU-PA).
Akta perda­mai­an ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang berisi hasil mu­sya­warah an­ta­ra pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri seng­keta dan ber­laku sebagai putusan.

Sedangkan menurut Umar Mansyur (2007: 172), “Putusan adalah suatu per­nyataan yang oleh Hakim – sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu – diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesai­kan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”.
Menurut Cik Hasan Bisri (1997: 65), bahwa “Secara sederhana keputusan pengadilan itu meliputi unsur (1) sumber hukum tertulis, (2) sumber hukum tidak tertulis, (3) hukum tertulis, (4) hukum tidak tertulis, (5) perkara (le­gal case), dan keputusan pengadilan”.
Macam-macam Putusan menurut Mukti Arto (2008: 252),

Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
1.      Putusan akhir, dan
2.      Putusan sela.
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.      Putusan gugur,
2.      Putusan verstek, dan
3.      Putusan Kontradiktoir.
Jika dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/perkara ada 2 (dua) macam, yaitu positif dan negatif, yang dapat dirinci menjadi 4 (empat) macam:
1.      Tidak menerima gugatan Penggugat ( = negatif).
2.      Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ( = negatif).
3.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya ( = positif dan negatif).
4.      Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya ( = positif).
Dan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.      Diklaratoir, yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum.
2.      Konstitutif, yaitu putusan yang menciptaan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan hukum sebelumnya.
3.      Kondemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi.

Menurut Umar Mansyur (2007: 174), putusan sela terdiri dari: (1) Putusan Preparator, (2) Putusan Interlucutoir, (3) Putusan Provisionil, (4) Putusan Insiden­til. Dalam tulisan Mukti Arto (2008: 251), “Selain itu, ada pula produk Pengadilan Agama yang bukan merupakan produk sidang tetapi berkekuatan hukum tetap se­perti putusan sebagai akta otentik, yaitu: (1) Akta Komparasi, dan (2) Akta Keahliwarisan”.
Surat putusan terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu: kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang “Duduknya Perkara” dan “Pertimbangan Hukum”, dan amar atau diktum putusan. Kekuatan putusan hakim ada (3) macam, yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
Secara rinci, harus memuat: (1) judul dan nomor putusan, (2) tanggal putusan, (3) kepala putusan, (4) nama dan tingkat peradilan yang memutus perkara, (5) tentang duduknya perkara, (6) tentang hukumnya/pertimbangan hukum, (7) amar putusan, (8) pembebanan biaya perkara, (9) hubungan amar dan petitum, (10) tanggal putusan dan pengucapan putusan, (11) penandatanganan putusan, (12) pembendelan (13) pemberitahuan isi putusan, (14) catatan kekuatan hukum tetap, (15) salinan putusan, (16) format surat putusan.

Penegakan Hukum


Penegakan Hukum
Dalam tulisan Satjipto Rahardjo (2006: 181) bahwa penegakan hukum merupakan proses pelaksanaan secara kongkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, setelah tahap pembuatan hukum. Menurut Jimly (2011) Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsi­nya nor­ma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hu­bung­an-hu­bungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Jimly (2011) dalam tulisannya:
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula di­tinjau dari  sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga men­­­­­­­­­­­­­­cakup makna yang luas dan sempit. Da­lam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pu­la nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Te­tapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu ha­nya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Terdapat empat unsur di dalam penegakan hukum, yaitu: Perangkat hukum, penegak hukum, kesadaran hukum, dan sarana penunjang. Yang dimaksud dengan perangkat hukum adalah per­aturan yang berlaku, yang dalam hal ini hukum substansi (materil) dan hukum acara (formil) yang keduanya merupakan sumber hukum sebagai bahan rujukan oleh Hakim dalam memutus perkara pengadilan.
Menurut C.S.T. Kansil (1992: 19), “sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat me­mak­­sa”. Hukum substansi dan hukum acara itu berupa peraturan perundangan yang merupakan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selanjutnya dalam tulisan C.S.T. Kansil (1992: 43), bahwa hukum tertulis (statute law = written law), yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-peraturan. Sedangkan hukum tak tertulis (unstatutery law = unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetai tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan-perundangan (disebut juga hukum kebiasaan).
Menurut C.S.T. Kansil (1992: 45) bahwa hukum substansi ini memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan berwujud perintah dan larangan. Sedangkan hukum formal adalah hukum yang memuat peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materil. Selanjutnya pengertian hukum acara menurut Soeroso (2004: 3) adalah “peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materil”. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun menurut Wirjono Prodjodikoro (1980: 13) sebagaimana dikutip Cik Hasan Bisri (2003: 242), hukum acara perdata adalah “Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.
Dalam buku tulisan Mukti Arto (2004: 12), bahwa Sumber-sumber hukum acara Peradilan Agama itu diantaranya: (1) HIR/R.Bg. (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (3) UU Nomor 14 Tahun 1970, (4) UU Nomor 14 Tahun 1985, (5) UU Nomor 1 Tahun 1974 Jo. PP Nomor 9 Tahn 1975, (6) UU No. 20 Tahun 1947, (7) Inpres No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam), (8) Peraturan Mahkamah Agung RI, (9) Surat Edaran Mahkamah Agung RI, (10) Peraturan Menteri Agama, (11) Keputusan Menteri Agama, (12) Kitab-kitab Fiqh Islam dan Sumeber Hukum tidak Tertulis lainnya, dan (13) Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Unsur yang kedua yaitu penegak hukum. Penegak hukum ini berarti orang atau petugas yang mempunyai tugas menegakkan hukum yang bersumber dari sumber-sumber hukum yang berlaku. Menurut Zainuddin Ali (2010: 63), bahwa “di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya”.
Adapun petugas yang berwenang mengadili perkara pada pengadilan agama yaitu Hakim. dalam melaksanakan tugas dalam sidang yaitu Majelis Hakim, yang terdiri dari Hakim Ketua, dan dua Hakim Anggota. Memeriksa, mengadili, memutus perkara harus di sertai dalil-dalil, alasan-alasan, serta dasar hukum yang tercantum dalam perundang-undangan, maupun dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Kemudian dalam tulisan Zainuddin Ali (2010: 64), bahwa kesadaran warga negara untuk mematuhi peraturan merupakan faktor yang penting bagi pengefektifan suatu peraturan perundangan. Karena hukum akan berfungsi apabila derajat kepatuhan masyarakat akan hukum itu besar. Selain kinerja dari pelaksanaan penegak hukum , maka harus diimbangi dengan keberadaan sarana prasarana yang memadai sehingga menunjang dari proses untuk mencapai produk pengadilan agama berupa penetapan, putusan, atau akta perdamaian.

Jumat, 05 Agustus 2011

Surat Gugatan Harta Bersama


6. Gugatan Harta Bersama.rtf

laporan pengadilan agama cimahi

laporan pengadilan agama cimahi

BAB I
PENDAHULUAN


A. Dasar Pemikiran
Penyelenggaraan praktikum Pengenalan Administrasi Beracara di Pengadilan Agama, merupakan salah satu piranti lunak, sebagai bagian dari penyelenggaraan akademik Fakultas Syaria’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Ia mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan tinggi, dan Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Akademik di lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Pedoman ini berisi unsur-unsur dan tahapan-tahapan mengenai penyelenggaraan Praktikum Pengenalan Administrasi Beracara di Pengadilan Agama bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun akademik 2006/2007. Ia menjadi acuan bagi mahasiswa, pembimbing, pengarah, dan penyelenggara praktikum. Ia disusun secara priodik, sehingga memungkinkan untuk dilakukan perubahan-perubahan dan perbaikan sesuai dengan kebutuhan.

B. Landasan Penyelenggaraan
Landasan penyelenggaraan praktikum keahlian ini adalah:
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 199 tentang Pendidikan Tinggi;
3. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 192 tentang Pembinaan Ilmu Agama Islam;
4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1995 tentang Kurikulum Nasional Program Strata Satu (S1);
5. Keputusan Rektor IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Nomor 20 Tahun 1987 tentang Petunjuk Teknis Praktis Profesi;
6. Hasil Keputusan Rapat Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 6 Juni 2006 tentang Penyelnggaraan Praktikum Profesi.

C. Maksud Dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari kegiatan praktikum ini adalah:
1. Memberikan pengalaman praktis pada mahasiswa tentang proses peradilan dari mulai penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian perkara.
2. Memberikan bekal keterampilan bagi mahasiswa dalam pembuatan kelengkapan administrasi peradilan dan seluruh kelengkapan ligitasi yang berhubungan dengan perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama.

D. Penyelenggaraan
Praktikum Pengenalan Administrasi beracara di Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui satu tim kepanitian di bawah koordinasi Pembantu Dekan 1 dengan Dekan sebagai penanggung jawab.

E. Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
Adapun waktu pelaksanaan praktikum ini direncanakan mulai tanggal 18 Juli sampai dengan tanggal 30 Agustus 2007 dengan rincian waktu sebagaimana terlampir dalam jadwal kegiatan
Sedangkan tempat pelaksanaan praktikum adalah di Pengadilan Agama Cimahi

F. Status Praktikum
Praktikum Pengenalan Administrasi beracara di Pengadilan Agama ini merupakan salah satu kegiatan kurikuler sebagai salah satu syarat kelengkapan untuk mengikuti ujian komprehensif.



G. Bentuk Dan Jenis Kegiatan
Praktikum Pengenalan Administrasi Beracara di Pengadilan Agama ini dilakukan dalam bentuk rangkaian kegiatan pengamatan, latihan kerja, dan penyusunan laporan berkenaan dengan proses beracara di Pengadilan Agama yang meliputi:
1. Membuka persidangan
2. Mendamaikan para pihak
3. Memeriksa para pihak
4. Menghadirkan para pihak
5. Musyawarah majelis hakim
6. Memutus perkara
7. Membuat dan melakukan eksekusi

H. Tahapan Kegiatan
1 Tahap Persidangan
Pada tahapan ini dilakukan kegiatan konsultasi ke lokasi praktikan, rapat-rapat antara pimpinan Fakultas Syari’ah dengan panitia pelaksanaan yang rinciannya adalah:
1. Rapat pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum
2. Pengangkatan Panita Penyelenggara, Pembimbing, dan Pengarah Praktikum;
3. Pembagian/Pendistribusian mahasiswa praktikan pada masing-masing lokasi praktik;
4. Konsultasi dengan ketua Pengadilan Agama yang dijadikan tempat kegiatan praktikum
5. Pertemuan persiapan penyelenggaraan praktikum antara panitia penyelnggara dengan pembimbing
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahapan ini akan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Pembekalan
Pembekalan dilakukan bagi semua mahasiswa praktikan yang berupa penjelasan mengenai pengamatan, pelaksanaan latihan kerja dilapangan dari Pembantu Dekan 1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang dilaksanakan pada tanggal 11 Juli 2007 Jam 10.00 s.d 11.00 WIB
b. Pengamatan dilapangan
Pengamatan dilapangan dilakukan oleh mahasiswa peserta praktikan dalam bentuk:
1. Pengamatan persidangan di Pengadilan Agama dari mulai membuka persidangan sampai dengan eksekusi;
2. Bimbingan dan supervisi terhadap peserta praktikan selama mengikuti kegiatan praktik;
3. Pemantauan pelaksanaan praktik oleh penyelenggara dan pimpinan Fakultas;
4. Prosentase Kehadiran Peserta ke Pengadilan Agama tempat praktik sebanyak 8 kali (jadwal tahapan kegiatan praktik terlampir)
3. Tahap Laporan
Pada tahap ini dilakukan:
1. Penyusunan laporan kerja oleh mahasiswa praktikan dengan persetujuan pembimbing masing-masing
2. Penyerahan laporan kerja mahasiswa praktikan dengan ketentuan 1 (satu) laporan untuk jurusan,dan 1 (satu) laporan untuk peserta.












BAB II
KONDISI OBJEKTIF DAN TINJAUAN UMUM
PENGADILAN AGAMA CIMAHI


A. Sejarah Pengadilan Agama Cimahi
1. Masa Sebelum Penjajahan
Pengadilan Agama di Kabupaten Bandung pada zaman sebelum penjajahan, merupakan sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur organisasi yang belum terbentuk, akan tetapi fungsi sebagai sebuah lembaga yang menyelesaikan sengketa diantara pemeluk agama Islam telah terbentuk, yaitu Mesjid sebagai sentra kegiatan¬nya dan para “Ajengan” sebagai tokoh kuncinya.
2. Masa Penjajahan Belanda sampai dengan Jepang
Pengadilan Agama untuk Kabupaten Bandung pada masa pendudukan Belanda, tepatnya pada tahun 1882 telah terbentuk dengan sebutan raad agama, dengan “kantornya” di Mesjid Agung Bandung (kaum), dengan wilayah hukum meliputi kabupaten Bandung dan burgemeester (kota) Bandung. Dasar pembentukan Pengadilan Agama (raad agama) untuk wilayah hukum Kabu¬paten Bandung (dan Indonesia pada umumnya), adalah dalam stbld 1882 pasal 1, disebutkan bahwa “pada tempat yang ada landraad di tanah Jawa dan Madura didirikan raad agama yang sama jajahanya dengan landraad itu”. Diantara ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bandung (hoofd penghulu president raad agama) yang terkenal dan dan namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Kota Bandung adalah Penghulu H. Hasan Mustopa.
Setalah pendudukan Belanda berakhir, dan digantikan oleh Jepang, dalam sis-tem pemerintahan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti, termasuk dalam bidang hukum (peradilan).
3. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, hal yang menyangkut hukum, diberlakukan aturan selama belum diatur hukum yang baru masih tetap berlaku hukum yang lama. Demikian pula dengan keberadaan Pengadilan Agama di Kabupaten Bandung, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Baru pada tahun 1967, dengan Keputusan Menteri Agama RI nomor 28 Tahun 1967 tanggal 15 Maret 1967 dibentuklah Pengadilan Agama Kabupaten Bandung di Cimahi, sebagai Ca-bang Pengadilan Agama Bandung di Cimahi, dengan wilayah hukum meliputi wilayah Kabupaten Bandung. Akan tetapi Keputusan Menteri Agama tersebut baru direalisasikan pada bulan Desember 1967, dengan dilantiknya KH. Moh Syarif Ishak (Gol II/c), mantan hakim pada Pengadilan Agama Bandung, se¬bagai Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bandung yang pertama.
Meskipun struktur organisasi Pengadilan Agama Kabupaten Bandung telah ter¬bentuk, ia belum memiliki Balai Sidang. Maka ditunjuk PT. FARMAJA (pimpi¬nan Hj. SUHAELI) sebagai pemborong pembangunan tersebut. Namun sebe¬lum gedung Balai Sidang yang baru terbentuk, oleh PT. FARMAJA diberikan pinjamana gedung ukuran 5 x 5 m, terletak di sebelah Apotik Budi Jalan Raya Tagog. Kantor sementara tersebut bercampur dengan onderdil mobil.
Komposisi karyawan Pengadilan Agama Kabupaten Bandung ketika itu berjum¬lah 13 orang, sebagai berikut :
NO NAMA GOL PENDIDIKAN JABATAN
1 KH. MOH SYARIF ISHAK II/c Pesantren Ketua
2 HIDAYAT RIFA’I, BA II/c Sarmud UNU Wakil Ketua
3 RA. ATENG JAM’AN II/a SMA Panitera Kepala
4 RA. MA’MUN II/b SMA Ka Kep. Perkara
5 SOMANTRI, BE II/a SM UNPAD Panitera Sidang
6 EYO SUKARYA I/c SMA Panitera Sidang
7 SUPARNO I/b SMP Panitera Sidang
8 IMUN RUKMANA I/d SMP Kuangan/Gaji
9 ADJI SUTARJA I/c SMP Staff
10 DAROSIH I/c SMP Staff
11 U.DAHRODJAT I/c SMP Staff
12 IDAR I/a SD Staff
13 KOMARA I/a SD Staff
Setahun kemudian, oleh Bupati Bandung (ketika itu Kolonel Masturi), Pengadilan Agama Cimahi (Kabupaten Bandung) diberikan sebidang tanah terletak di Jalan Raya Gatot Subroto, bersebelahan dengan Kantor Inspeksi Pendidikan Agama Islam, sekarang Salon/rumah makan. Akan tetapi dikarenakan ada ruangan yang kosong di Kantor Inspeksi Pendidikan Agama Islam tersebut, maka ruangan itulah yang difungsikan sebagai balai sidang, bahkan hingga tiga tahun berjalan di tempat tersebut, tanah yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung belum dibangun.
4. Belakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diberlakukan tanggal 1 Oktober 1975, Kantor Pengadilan Agama Cimahi pindah ke Jalan Cihanjuang, dengan menyewa sebuah paviliun rumah lantai 2 sebelah Hotel Chandra. Ukuran Balai Sidang di tempat yang baru ini cukup apabila diban-dingkan dengan dua tempat sebelumnya.
Pimpinan Pengadilan Agama pada masa berlakunya UU No 1 Tahun 1974 dijabat oleh KH. Hidayat Rifa’i, BA dan Panitera Kepala dijabat oleh RA. Ateng Jam’an. Penggunaan Balai Sidang Pengadilan Agama Cimahi di Jalan Cihan¬juang ini berlangsung selama ± 4 tahun, kemudian pada tahun 1978, pada masa kememimpinan Drs. KH. Hidayat Rifa’i dan Panitera Kepala Adji Sutardja, Sm.Hk, Kantor dipindahkan ke Jalan Terusan No. 38 Cimahi.
Pembangunan BSPA Cimahi di Jalan Terusan No 38 Cimahi didirikan di atas tanah dengan hak sewa seluas 510 m2 berdasarkan SK Gubernur KDH Dati I Jawa Barat Nomor 556/Pm.130/SK/1976. Luas bangunan (pertama) 225 m2, pembangunan tersebut dilaksanakan oleh CV. RAMA melalui anggaran DIP Departemen Agama tahun 1976/1977, dengan biaya sebesar Rp. 7.100.000.
Jumlah perkara masuk pada periode ini sebanyak 300 perkara per bulan, atau ± 3600 perkara pertahun. Dominasi perkara masuk ke Pengadilan Agama Cimahi secara berturut-turut adalah perkara Izin Ikrar Thalak, Pegesahan Nikah.
5. Masa Berlakunya Undang-Undang No 7 Tahun 1989
Ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama Cimahi dibawah pimpinan Drs. H. Mahyudin Ramli (1989-1995). Kemudian secara berturut-turut Ketua Pengadila Agama Cimahi pada periode in adalah : Drs. H.P. Soetopo, SH, M.Hum (1995-1998), Drs. H. Nurcholis, Sy. SH (1998-2001), Drs. H. Yahya Khaerudin, SH (2001-2002) dan Drs. H. Zurrihan Ahmad, SH, MH.
Pada periode ini terjadi perkembangan yang cukup signifikan, diantaranya :
a) Jumlah perkara yang masuk, semula berjumlah 300 perkara per bulan, menjadi kurang dari 100 perkara per bulan. Hal ini berlangsung hingga tahun 1999. Kemudian pada tahun 1999 sampai dengan sekarang terjadi pening¬katan jumlah perkara masuk hingga mencapai angka 150 – 200 perkara;
b) Terjadinya kasus pemalsuan akta cerai;
c) Terbitnya KMA Nomor : 73 Tahun 1993 tanggal 9 Maret 1993 jo KMA 589 tahun 1999 tentang Penetapan Kelas Pengadilan Agama, ditetapkan bahwa Pengadian Agama Cimahi adalah Pengadilan Agama Kelas I.A;
d) Terbitnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Cimahi sebagai Pemerintahan Kota (otonom);
e) Sejak terbitnya UU No 9 Tahun 2001 Pengadilan Agama Cimahi mewilayahi dua wilayah pemerintahan, yakni Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi;
f) Dibangunnya kantor Pengadilan Agama Cimahi di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung Soreang;
6. Masa berlakunya Undang-Undang No 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, lahir sebagai pengejawantahan revormasi dalam tata hukum di Indonesia yang menghendaki pemisahan secara jelas antara eksekutif dan yudikatif. Undang-undang ini membidani penyatu-atapan empat badan peradilan ke dalam struktur Mahkamah Agung RI. Untuk Peradilan Agama penyerahan dari Departemen Teknis (DEPAG RI) dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2004. Sehingga setelah tanggal tersebut secara teknis yustisial, finansial dan administrasi, peradilan agama telah berada dalam struktur Mahkamah Agung RI.
Ketika momentum itu terjadi Pengadilan Agama Cimahi, di bawah pimpinan Drs. H. Sam’un Abduh, SQ, seorang wakil Ketua , karena formasi ketua belum terisi. Bagi Pengadilan Agama Cimahi, bersamaan dengan momentum bersejarah tersebut, tercatat perkembangan yang penting, diantaranya :
a) Selesainya pembangunan Balai Sidang Pengadilan Agama Cimahi yang representaif di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung di Soreang;
b) Pelayanan hukum terhadap masyarakat pencari keadilan telah menggunakan komputerisasi, yang berbasis pada komputer lokal area network. Komputerisasi ini dikenal dengan nama sistem informasi administrasi perkara peradilan agama (SISDIPA). Dengan aplikasi SISDIPA ini pelayanan berperkara disajikan secara lebih baik (better), lebih cepat (faster), lebih sederhana (more simple) dan lebih akurat.

B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Cimahi
Visi Pengadilan Agama Cimahi adalah Terwujudnya citra dan wibawa serta kemadirian Pengadilan Agama dalam melaksankan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan peradilan lainnya, bermartabat dan dihormati demi tegaknya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum di tengan masyarakat yang religius menuju terlaksananya syari’at Islam secara efektif.
Sedangkan Misi Pengadilan Agama Cimahi adalah Optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama sebagai peradilan negera agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap mayarakat melalui putusan yang mencitraka asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat;
Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai institusi negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat, melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaaan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan

C. Tujuan Pengadilan Agama Cimahi
Pengadilan Agama secara historis merupakan institusi peradilan tertua di Indonesia. Dalam menapaki sejarahnyam ia telah berinteraksi dengan beragam kondisi sosio politik dankultural. Dari peradilan srambi hingga satu atap dalam srtuktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dari “hakim bersarung” hingga peradilan yang ber court of law.
Tujuan pokok Pengadilan Agama Cimahi, Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama menyatakan bahwa “ Peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di Bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah wakaf, shadaqah dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
adapun jenis perkara yang di selesaikan di Pengadilan Agama Cimahi dalam bidang perkawinan diantaranya adalah:
a. Izin beristri lebih dari seorang
b. Izin melangsungka perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c. Dispensasi kawin;
d. Pencegahan perkawinan;
e. Penolakan perkawinanan oleh pegawai pencatat nikah;
f. Pembatalan erkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri
h. Perceraian karena talak
i. Gugatan perceraian;
j. Penyelesaian harta bersama;
k. Megenai penguasaan anak-anak;
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p. Pencabutan kekuasaan wali
q. Penunjukan orang lain sebgai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali di cabut;
r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 8 tahun (delapan belas tahun) yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuannya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaanya;
t. Penetapan asal usul seorang anak
u. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain.








D. Lokasi dan Letak Geografis
1. Peta Wilayah Hukum Pengadilan Agama Cimahi










2. Letak Pengadilan Agama Cimahi
A. Gedung Lama
a) Gedung Pengadilan Agama Cimahi terletak dijalan Terusan nomor 38 kota Cimahi telpon (022) 6654444 kode pos 40525.
b) Lokasi/tanah tempat berdirinya gedung Pengadilan Agama Cimahi adalah merupa¬kan tanah milik Kel. Cimahi seluas 510 M2 dengan hak sewa berdasarkan SK. Gubernur DT. I Jawa Barat No. 556/pm/130/SK/176 Tgl. 16 Desember 1976
c) Pelaksanaan pembangunan gedung dari mulai pembentu¬kan sampai dengan sekarang (mutasi/perubahan) adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan pertama tahun 1976 seluas 225 M2, dengan sumber dana dari APBN tahun 1976/1977 sebesar Rp. 7.100.000 dan dilaksanakan oleh CV Rama.
- Pembangunan Ruang Tata Usaha dan R. Hakim tahun 1980 seluas 50 M2, dengan sumber dana Swadaya BADK I 1980 sebesar Rp. 600.000,-
2. Pembangunan Ruang Kepaniteraan Perkara, Mushola dan R. Sidang seluas 100 M2, dengan sumber dana dari DIP tahun 1982/1983 sebesar Rp. 11.000.000,-
3. Pembangunan lantai dua (di atas R. tunggu) untuk Ruang Hakim seluas 40 M2, dengan sumber dana dari DIP/SKU TA. 2000 sebesar Rp. 29.988.000,-
Sehingga luas bangunan seluruhnya 415 M2
d) Rehabilitasi gedung dilaksanakan pada tahun 1993 berdasarkan DIP 1993/¬1994 No. 040/XXV/3/-/93 Tanggal 17 Maret 1993 sebesar Rp. 70.317.000,- dan dilaksana¬kan oleh CV PRAMANIK.
e) Pembangunan kantor Pengadilan Agama Cimahi di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung Soreang dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama tahun 2001, tahap kedua tahun 2002 dan tahap ketiga (ter¬akhir) tahun 2003 dan diperhitungkan dapat ditempati pada awal tahun 2004.
B. Gedung Baru
a) BSPA Kabupaten Bandung di Komplek Pemda Kabupaten Bandung, Desa Pamekaran, Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat.
b) Status Tanah tempat berdirinya BSPA baru adalah Hak Guna Pakai, sebagaimana surat Bupati Bandung Nomor : 593/1489/huk tanggal 23 Juli 1999 perihal Penggunaan Tanah Asset Pemerintah Kabupaten Daerah Tk II Bandung Untuk Pemba¬ngunan Pengadilan Agama Kelas I.A Cmahi, jo. surat Sekretaris Daerah pemerintah Kabupaten Bandung Nomor 593/1252/Huk perihal Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kantor Pengadilan Agama Kelas I.A Cimahi
c) Pelaksanaan pembangunan BSPA Cimahi di soreang seluas 600 m2 (dua lantai) dilaksanakan dalam tiga tahap.
1) Tahap Pertama, dilaksanakan pada Tahun 2001, berupa pengerjaan struktur lantai I, pemasangan dinding keliling 300 m2 dan pegecoran dak lantai II;
2) Tahap kedua, dilaksankan pada tahun 2002, pembangunan tahap kedua ini meliputi pengerjaan struktur lantai II, dinding keliling seluas 300 m2 dan pembuatan atap dengan kontruksi rangka beton. Dana yang dialokasikan untuk pembangunan tahap kedua ini sebesar Rp. 300.000.000,- yang bersumber dar APBN tahun 2002;
3) Tahap ketiga, dilaksanakan pada tahun 2003, yang merupakan tahap finishing. Alokasi dana untuk tahap ini adalah sebesar Rp. 332.400.000, yang bersumber dari APBN
4) Pada tahun 2004, setelah Bangunan diserahterimakan dari Pimbagpro kepada Pengguna (Pengadilan Agama Cimahi), Pengadilan Agama Cimahi secara swakelola dan swadana membangun ruang tunggu seluas 40 m2. Ruang tunggu ini telah selesai pada bulan Juni 2004.
C. Gedung Tempat Sidang
Pengadilan Agama Cimahi belum mempunyai Balai Sidang diluar Kantor untuk kepentingan sidang keliling, meski kegiatan ini selalu menjadi agenda setiap tahun yang tertuang dalam program kerja.
Penyelenggaraan sidang keliling disamping dilaksanakan sesuai program, juga terjadi secara “insidentil” ketika masyarakat mengajukan permohonan dengan pertimbangan “dharurat” dan effisiensi. Balai sidang yang digunakan pada kegiatan sidang keliling adalah fasilitas publik yang dipandang cukup representatif, seperti balai desa, madrasah, balai nikah pada Kantor Urusan Agama serta fasilitas publik lainnya.



BAB III
PENERAPAN DAN PELAKSANAAN BINDALMIN KEPANITERAAN DI PENGADILAN AGAMA CIMAHI


A. Pola Prosedur Penyelenggaraan Administrasi Perkara di Pengadilan Agama Cimahi
1. Administrasi Perkara Pengadilan Agama
Tertib perkara administrasi merupakan bagian dari court of law yang mutlak harus dilaksanakan oleh samua aparat Pengadilan Agama dalam rangka mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Hal ini dapat terlaksana apabila aparat peradilan Agama memahami pengertian administrasi secara luas adapun yang dimaksud dengan administrasi adalah suatu proses penyelenggaraan oleh seorang Administratur secara teratur dan diatur guna melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan pokok yang telah ditetapkan semula. Adapun yang dimaksud dengan proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara beruntun dan susul menyusul, artinya selesai yang satu harus diikuti dengan dengan pekerjaan yang lain sampai titik akhir. Proses itu sendiri meliputi 6 hal yaitu: menghimpun, mencatat, mengolah, menggandakan, mgnirim, dan menyimpan.
Tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1978 pasal 2 yaitu: menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut adalah panitera, sebagaimana tersebut dalam pasal 26 UU No. 7 Tahun 1989. panitera sebagai pelaksana kegiatan Administrasi Pengadilan memiliki 3 macam tugas:
1) Pelaksanaan Administrasi Perkara
2) Pendamping hakim dalam persidangan
3) Pelaksana putusan/penetapan pengadilan dan tugas-tugas kejurusitaan lainnya.
Sebagai pelaksana administrasi perkara panitera berkewajiban utnuk melaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 99 UU No 7 Tahun 1989 yaitu membuat daftar semua perkara yang diterima kepaniteraan sertamemberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya. Adapun tanggung jawab panitera adalah sebagaimana dalam pasal 101 UU No 7 Tahun 1989 yaitu bertanggung jawab atas pengurusan perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang-barang bukti, dan surat-surat lain yang disimpan di kepaiteraan.
Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama melalui beberapa meja yaitu:
a. Meja pertama bertugas :
1) Menerima gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali, eksekusi penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat/ pemohon.
3) Menyerahkan kembali surat gugatan/permohonan kepada calon penggugat
4) Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR/145 Rbg yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
5) Penerimaan perkara perlawanan (verzet) hendaknya dibedakan antara perlawanan verzet terhadap putusan verstek dengan perlawanan pihak ketiga (Darden Verzet).
6) Memberi penjelasan-penjelasan yang dianggap perlu yang berhubungan dengan perkara.
b. Kas, bertugas:
1) Pemegang kas merupakan bagian dari meja pertama
2) Pemegang kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM dan dimasukan dalam buku jurnal.
3) Seluruh kegiatan pengeluaran perkara harus melalui pemegang kas dan dicatat secara tertib dalam buku induk yang bersangkutan
4) Pada saat penerimaan panjar perkara, pemegang kas pada saat itu harus mengeluarkan biaya pencatatan sebesar Rp 2000, yang merupakan biaya kepnitraan yang nantinya akan disetorkan kepada kas Negara oleh bendahara penerima dari bagian secretariat dan hendaknya penyetor tersebut dilakukan setidaknya seminggu sekali.
5) Semua pengeluaran uang perkara harus melalui pemegang kas, dan pemegang kas wajib mencatat dengan tertib segala kegiatan pengeluaran uang tersebut dalam buku jurnal yang bersangkutan.
6) Untuk pengeluaran biaya materai dan redaksi dicatat dalam buku jurnal sesuai dengan tanggal diputusnya perkara tersebut.
7) Pemegang kas mendatangani SKUM dalam surat gugat/permohonan.
8) Mengembalikan asli serta tindakan pertama SKUM beserta surat gugat/ permohonan kepada calon penggugat/pemohonan.
9) Khusus bagi pengadilan tinggi agama, penerimaan baiay perkara banding dari Pengadilan Agama harus dilaksanakan serentak bersama-sama, artinya apabila berkas perkara atau panjar baiay perkara banding salah satu diterima lebih dulu oleh PTA maka harus dibukukan sendiri dalam buku Bantu.
c. Meja II betugas sebagai:
1) Menerima surat gugat/perlawanan dari calon penggugat/ pelawan dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat/terlawan ditambah dua rangkap.
2) Menerima surat pemohon dari calon pemohon sekurang-kurangnya dua rangkap
3) Menerima surat tindakan pertama SKUM dari colon penggugat/ perlawan pemohon.
4) Mendaftar atau mencatat surat gugatan/ pemohon dalam register yang bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan/ permohonan tersebut.
5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan/permohonan yang telah diberi nomor register kepada penggugat/ pemohon.
6) Asli surat gugat/ permohonan dimasukan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindakan pertama SKUM dan surat yang berhubungan dengan gugatan/permohonan, disampaikan kepda wakil panitera, untuk selanjutnya berkas gugatan/ permohonan tersebut disampaikan kepada ketua PA melalui panitera.
7) Mendaftar/mencatat putusan PA / PTA / MA dalam semua buku register yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Sub kepaniteraan permohonan/gigitan mempelajari kelengkapan persyaratan dan mencatat semua data-data perkara yang baru diterimanya dalambuku penerimaan tentang perkara, kemudian menyampaikannya kepada panitera dengan melampirkan semua formulir-formulir yang berhubungan dengna pemeriksaan perkara.
b. Sebelum berkas tersebut disampaikan ke ketua PA terlebih dahulu ketua PA menyuruh petugas yang bersangkutan untuk mencatatnya dalam buku register perkara yang nomornya telah diambil dari SKUM.
c. Selambat-lambatnya pada hari kedua surat gugat diterima dibagian kepaniteraan, panitera harus sudah menyampaikan kepada ketua Pengadilan Agama yang selanjutnya dicatat dalam buku ekspeidsi yang ada padanya dan dipelajarinya yang kemudian disampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada panitera yang disertai penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH) yang harus dilakukannya dalamwaktu selambat-lambatnya 10 hari sejak gugatan/permohonan di daftarkan.
d. Panitera penunjuk seorang atau lebih panitera penggani untuk diperbantukan kepada majelis atau hakim yang bersangkutan.
e. Setelah majelis atau hakim menerima berkas-berkas dari ketua atau wakil ketua, maka ketua majelis / hakim harus membuat penetapan hasil sidang (PHS)
d. Meja III bertugas sebagai:
1) Menyerahkan salinan putusan PA/PTA/MA kepada yang berkepentingan.
2) Menyerahkan salinan penetapan PA kepada pihak yang berkepentingan.
3) Menerima memori atau kontra memori banding, memori atau memori / memori kasasi / jawaban / tanggapan peninjauan kembali dan lain-lain.
4) Menyusun atau menjahit atau mempersiapkan arsip.
5) Khusus bagi PTA Meja III berfungsi:
a. Menyerahkan penetapan arsip perkara atau dokumen sesuai dengan predeo tetap atau protop
b. Mempersiapkan data-data perkiraan dan pembuatan laporan statistik.
2. Administrasi Perkara Banding
Bagi pihak yang merasa belum puas dengan putusan Pengadilan Agama dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tinggi Agama yang memutuskan perkara batas.
Waktu pengajuan banding adalah 14 hari setelah putusan Pengadilan Agama diumumkan atau diberi tahukan secara sah kepada para pihak yang tidak hadir ketika putusan itu diucapkan.
Permohonan banding yang telah memenuhi syarat administrasi harus pula dibuat akta permohonan banding. Dalam hal ini permohonan banding itu harus melewati batas waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, panitera harus membuat surat keterangan.
Dalam waktu 7 hari permohonan banding diterima, kepada pihak lawan harus diberitahukan adanya permohonan banding itu, yang dinyatakan dengan akta pemberitahuan permohonan banding. Dalam hal diterimanya memori banding atau kontak memori banding harus dicatat tanggal penerimaanya, dan selanjutnya salinannya disampaikan kepada pihak lawanannya masing-masing yang dinyatakan dengan akta penyerahan atau pemberitahuan memori/kontra memori banding.
Dalam waktu satu bulan sejak permohonan banding diterima, berkas perkara bandingnya harus sudah dikirim ke PTA. Berkas perkara banding yang dikirim melalui pos, dikirim dengan pos tercatat sedangkan yang diantar lansung ke PTA harus disampaikan dengan ekspedisi/tanda bukti penerimaan untuk menghindari hilangnya berkas perkara.
Biaya pemeriksaan perkara banding ke PTA harus disampaikan melalui bank pemerintah atau wesel pos bersamaan dengan pengiriman berkas perkara. Berkas perkara banding yang dikirim ke PTA harus dijilid atau disusun dengan baik, dalam bentuk dan ukuran bendel A dan bendel B
3. Administrasi Perkara Kasasi
Kasasi adalah pembatalan putusan hakim. Hal tersebut merupakan salah sastu tindakan MA sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan lainnya.
Alasan hukum yang digunakan dalam permohonan kasasi sebagaimana tersebut dalam pasal 130 UU No 14 Tahun 1985 tentang MA yaitu:
1) Karena pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh per UU
2) Karena pengadilan melampaui batas-batas kewenangannya
3) Karena pangadilan salah dalam menerapkan hukum.
Para pihak setelah menerima tingkat banding, diberi kesempatan 14 hari untuk menyatakan kasasi ke mahkamah agung melalui panitera Pengadilan Agama. Apabila diantara pihak akan menyatakan kasasi, maka kepada pemohon kasasi membayar biaya sebesar Rp 50.000,00 sesuai dengan putusan MA RI No: KMA/017/SK/IV/992 tanggal 10 juni 1992.
Panitera yang menangani perkara kasasi, baru menerima perkara tersebut apabila masih dalam tanggal waktu 14 hari dan telah melunasi biaya perkara kasasi. Selanjutnya panitera memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan selambat-lambatnya selama 7 hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut.
Pihak permohonan kasasi membuat memori kasasi sebanyak 3 rangkap dalam tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi dicatat dan didaftarkan. Panitera membuat tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari dengan membuat tanda terima penyerahan.
Pihak lawan diberi kesempatan untuk menjawab atau membuat jawaban (kontrak memori kasasi) dalam waktu 14 hari sejak diterimanya memori kasasi tersebut. Panitera menerima kontra memori kasasi dengan bukti tanda terima. Selanjutnya panitera mengirimkan berkas permohonan kasasi ke MA selambat-lambatnya 30 hari. Adapun berkas-berkas yang dikirim tersebut terdiri dari bendel A dan bendel B.
4. Administrasi Perkara Peninjauan Kembali
Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan ke MA RI berdasarkan yang telah diatur dalam pasal 67 UU No 14 tahun 1985 sebagai berikut:
a) Apabila putusan didasarkan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setalah perkara diputus atau ada keterangan saksi atau surat-surat yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah di putus, diterima surat-surat bukti yang bersifat menentikan, yang waktu perkara di periksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak di tuntut atau lebih yang dituntut.
d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e) Apabila antara pihak-pihak yang sama, yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama, atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan yang lainnya.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasai untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia permohonan tersebut dapat dilakukan oleh ahli warisnya.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali saja. Penetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya penipuan.
Panitera wajib selambat-lambatnya dalam 14 hari memberitahukan tentang permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan dengan memberikan atau mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali serta alasan-alasannya kepada pihak lawan. Pihak lawan dapat mengajukan jawabannya dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan tersebut.
Setelah jawaban diterima oleh Pengadilan Agama panitera wajib membubuhi cap, tanggal, hari diterimanya jawaban peninjauan kembali tersebut atas surat jawaban.
Berkas perkara peninjauan kembali dan bukti pembayran biaya oleh panitera dikirimkan kepada MA dalam waktu 30 hari. Berkas perkara peninjauan kembali yang disampaikan ke MA RI dijilid dan disusun dengan baik dalam bandel A dan bandel B.
5. Tentang Pelaporan Perkara diPengadilan Agama Cimahi
Laporan mengenai perkara yang berjalan diPengadilan Agama meliputi keadaan perkara, kegiatan kehakiman keadaan perkara yang dimohonkan banding kasasi dan peninjauan kembali perkara eksekusi dan juga tentang keuangan perkara fungsi dari perkara ini antara lain:
1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman (pasal 32 ayat 1 UU No 14 tahun 1985)
2) Pengawasan atas tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya. (pasal 32 ayat 2 UU No 14 Tahun 1985)
3) Pengawasan atas penasehat hukum dan notaris. (pasal 36 ayat 2 UU No 14 Tahun 1985)
4) Sebagai badan untuk mengetahui kemajuan yang terjadi dan dapat dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan berikutnya.
a. Adapun fungsi laporan-laporan yang dibuat oleh Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Sebagai alat pantau segala tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh MA dan PTA sebagai kawal depan dari MA RI
b. Sebagai bahan untuk meneliti kebenaran dari evaluai yang dibutuhkan oleh PA dan PTA sebagaimana yang ditentukan dalam surat keputusan MA No KMA/009/SK/II/1988.
c. Sebagai bahan dasar bagi MA RI untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PTA dan sebagai bahan dasar bagi PTA untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PA.
d. Sebagai bahan dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, sehingga didalam mengambil keputusan dalam rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
6. Tentang Kearsipan Perkara Di Pengadilan Agama Cimahi
Penyelenggaraan arsip di Pengadilan Agama dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Memisahkan berkas perkara yang masih berjalan dengan arsip berkas perkara
2. Berkas perkara yang masih berjalan dikelola oleh kepaniteraan, gugatan/permohonan dengan cara disimpan dalam box atau sampul yang dikumpulkan diatas rak lemari secara vertikal dan horizontal masing-masing box diberi nomor urut, tahun perkara, jenis perkara, dan nomor urut perkara.
3. Membuat daftar isi dalam kertas tersendiri yang ditempatkan disisi kiri box.
Arsip yang telah tertata rapi bisa digunakan lagi seperti oleh hakim, jaksa, polisi, dosen, mahasiswa atau masyarakat umum yang memerlukan arsip yang hendak dihapus atau dibuang hendaknya dibentuk panitia penghapusan dan dibuatkan dalam berita acara terhadap berkas-berkas perkara yang dihapus.
7. Tentang Registrasi Perkara di Pengadilan Agama Cimahi
Register artinya buku daftar yang memuat secara lengkap dan terperinci mengenai suatu hal atau pokok perkara, tentang register perkara dalam surat Edaran Mahkamah Agung RI No KMA/001/SK/1991 tanggal 14 Januari 1991 maka akan mudah diketahui fungsi-fungsi dari register perkara ini, yaitu:
1. Uraian tentang keadaan perkara sejak semula mulai didaftarkan sampai dengan diputus dan sampai putusan dilaksanakan.
2. Gambaran tentang kegiatan hakim dan panitera yang pada akhirnya dapat diketahui data-data pribadi yang jelas dan ini dapat dipergunakan sebagai penilaian dalam hal mutasi para hakim dan panitera.
3. Gambaran tentang formasi hakim dan panitera sehingga dapat diketahui kebutahan tenaga hakim dan panitera yang harus dipenuhi pada setiap Pengadilan Agama.
4. Menghindari diri dari sikap ragu-ragu terhadap data-data dan pusat informasi.
5. Sebagai mentoring terhadap hilangnya berkas perkara.
Karena fungsi register perkara diatas bernilai yuridis dan membuktikannya sebagai akta otentik, maka dalam mengisi register harus dilakukan dengan hati-hati, benar dan seksama serta tidak ada coretan yang dapat mengganggu nilai yuridis register perkara.



















BAB IV
PROSES PENYELENGGARAAN PERKARA
DI PENGADILAN AGAMA CIMAHI


A. Penerimaan Perkara
Para pencari keadilan dalam memasukan gugatan/permohonan ke Pengadilan Agama, pertama gugatan/permohonan tersebut disampaikan kepada petugas meja pertama selanjutnya petugs memeriksa gugatan/permohonan tersebut, apakah formulasinya telah sesuai dengan ketetnutan yang berlaku atau tidak dilengkapi identitas-identitas para pihak dan kebenarnnya perkara tersebut merupakan kewenangan peradilan agama atau bukan posita yang dijadikan sebgai dasar gugatan/permohonan.
Para pencari keadilan dalam memasukan gugatan/permohonan ke Pengadilan Agama, pertama gugtan/permohonan tersebut disampaikan kepda petugas meja pertama selanjutnya petugas memeriksa gugatan/permohonan tersebut, apakah formulasinya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak kelengkapan identitas pihak-pihak dan kebenarannya perkara tersebut merupakan kewenang peradilan agama tau bukan posita yang dijadikan sebagai dasar gugatan/permohonan.
Setelah gugatan/permohanan ditandatangi dan diterima oleh petugas meja pertama maka petugas akan menaksir biaya-biaya perkara yang harus dibayar oelh calon pemohon sebagai vorscot biaya perkara, diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dalam rangkap tiga. Selanjutnya, surat gugatan/permohonan dibawa kepada petugas bendahara untuk membayar baiay tersebut. Calon penggugat/pemohon menerima asli serta tindasan pertama SKUM kepada calon penggugat/pemohon setelah dibubuhi cap/tanda lunas.
Gugatan setalah dibayar biaya perkaranya diserahkan kepada petugas meja II sebanyak (2) rangkap serta tindasan pertama SKUM.
Petugas meja II agar mencatat surat gugatan/permohonan dalam regiser yang bersangkutan serta memberikan nomor register pada surat gugatan terebut. Tindasan surat gugatan tersbut diserahkan kembali kepada penggugat/pemohon.
Asli surat gugatan/permohonan dimasukandalamsebutah map khusus dengan melampirakan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan gugatan/permohonan selanjutnya petugas meja II menyampaikan kepada wkil panitera untuk dieruskan kepada ketua Pengadilan Agama melalui panitera paling lama 7 hari.

B. Ketentuan Penanganan Perkara Oleh Majelis Hakim
Setalah menerima berkas perkara, majelis hakim harus mempelajari berkas perkara tersebut dan segera mengadakan musyawarah. Selanjutnya 7 hari setelah lambat 30 hari dihitung dari sejak tanggal pendaftaran gugatan/permohonan. Penetanan hasil sidang (PHS) yang dibikin sedikitnya 2 rangkap ditandatangani oleh ketua majelis yang selanjutnya panitera pengganti menyerahkan PHS dan gugatan tersebut kepada panitera/juru sita untuk dilakukan pemanggilan kepada para pihak.
a. Ketentuan dalam persidangan
Sidang pengadilan harus dilaksanakan diruang sidang, khusus perkara perceraian “pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum, sedangkan sidang terbuka untuk umum dilakukan dalam hal-hal selainnya antara lain sebagai berikut:
1) Pemeriksaan relas panggilan
2) Pemeriksaan identitas para pihak
3) Upaya mendamaikan pihak-pihak
4) Pengunduran/penundaan sidang
5) Pembacaan putusan/penetapan sela
6) Pembacaan putusan/penetapan
b. Waktu dalam persidangan
Meskipun penetapan lamanya waktu bersidang dalam setiap berita acara persidangan (BAP) di Pengadilan Agama tidak ditentukan secara pasti, namun setelah kami mengamati jalannya persidangan diPengadilan Agama Cimahi bahwa majlis hakim dapat menyelesaikan setiap acara persidangan rata-rata selama 10 s/d 15 menit, dengan demikian majelis hakim dapat menyelesaikan beberapa kasus/perkara dalam satu hari persidangan. Dengan kata lain dalam setiap perkara yang masuk kepengadilan itu da pat diselesaikan pada hari dan waktu itu juga. Tetapi majelis hakim dalam menyhelesaikan perkaranya dilakukan secara bertahap-tahap sesuai dengan BAP.

C. Pemeriksaan Perkara
Tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana yang diatur dalam UU No 14 Tahun 1978 pasal 2 yaitu: menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut adalah panitera, sebagaimana tersebut dalam pasal 26 UU No 7 tahun 1989.
Proses pemeriksaan perkara perdat didepan persidangan dilakukan pada sidang pertama untuk menentukan beberapa hal yaitu:
1. Jika tergugat tidak hadir dalam persidangan pertama (dalam perkara contentiosa) maka akan diputuskan putusan verstek.
2. Apabila penggugat telah dipanggil secara patut dalam sidang pertama. Akan diputus perkara dinyatakan gugur (pasal 125 HIR/140 R.Bg
3. Apabila tergugat tidak hadir, walaupun telah dipanggil dengan patut perlu diperhatikan, kecuali surat itu berisi perlawanan (Eksepsi) bahwa PA yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadilinya, maka wksepsi itu harus diperiksa oleh hakim dan diputs setalah mendengar dari penggugat (pasal 125 ayat 2 HIR). Setelah dilakukan pemeriksaan dalam sidang pertama, kemudian dilanjutkan dengan jalannya persidangan yang terdiri dari:
a) Menurut SEMA No 10/1969, bahwa pada dasarnya pengadilan itu bersidang dengan majelis yaitu dengan tiga orang hakim, begitu pula dalam pasal 15 ayat 1 UU No 14 Tahun 1970
b) Tugas panitera sebelum sidang: mempersiapkan dan memeriksa segala sesuatu jalannya persidangan.
c) Ketua majelis membuka sidang sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum dengan ketukan palu sebanyak tiga kali. Sebaliknya sidang tertutup untuk umum dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan khusus, misalnya sidang permusyawaratan m ajelis hakim yang bersifat rahasia (pasal 17 ayat 3 tahun 1970)
d) Ketua majelis menanyakan identitas para pihak, secara formal artinya sekalipun saja sudah tahu/kenal dengan pembaca surat gugatan/permohonan sebelumnya, namun ditanyakan kembali didepan sidang sangatlah mutlak.
Keterangan
1. Pada awal persidangan, damai atau inisiatif persidangan
2. Pada tahap pembacaan gugatan, maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugat atau petitum) sudah benar lengkap.
3. Pada tahap jawaban pihak penggugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.
4. Pada tahap replik, penggugat dapat menegakan kembali gugatannya yang disangkal oleh tergugat.
5. Pada tahap duplik, penggugat dapat menjeleskan kembali jawaban yang disangkal oleh tergugat
6. Tahap pembuktian, penggugat mengajukan semua alat-alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugat, dan sebaliknya.
7. Pada tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat terakhir tentang hasil pemeriksaan.
8. Pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan, putusan hakim itu mengakhiri sengketa.

D. Penyelesaian Perkara
Apabila jawaban-jawaban antara penggugat dan tergugat telah sampai diketahui apa sebab yang menjadi pokok permasalahan (sengketa) kemudian persidangan dilanjutkan pada acara pembuktian oleh majelis hakim.


E. Pembuktian
Pembuktian adalah hanya diperlukan apabila dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat, apabila tidak dibantah perlu adanya pembuktian. Pembuktian dalam arti logis adalah untuk mencari kepastian yang relatif, sifatnya pertama didasarkan pada perasa belaka, kedua didasarkan pada pertimbangan akal.
Dalam arti yuridis berlaku hanya pihak yang berperkara, dengan demikian pembuktian dala arti yuridis tidak menuju kebenaran mutlak karena dimungkinkan adanya pengakuan, kesaksian, dan surat-surat yang isinya tidak benar atau palsu. Dengan demikian arti yuridis itu untuk memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa kepada hakim.
Dalam ketentuan pasal 164 HIR disebutkan, bahwa alat-alat bukti yang sah ada 5 macam:
1. Bukti surat yaitu suatu tulisan yang berisi keterangan tentang sesuatu, peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu dan ditandatangani. Bukti surat ini biasanya disebut akta, yang didalamnya dinyatakan suatu perbuatan atau peristiwa hukum.
Adapun akta dibagi 2 yaitu:
a. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat akta itu. Akta tersebut mempunyai kekuatan dalam pembuktiannya, yaitu pembuktian formil dan materil
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang ditandatangani dandibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum.
2. Bukti saksi yaitu alat bukti berupa keterangan yang dikemukan oleh saksi tentang peristiwa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi yang bersangkutan. Atau kepastian yang diberika oleh hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan yakni dengan jalan pembuktian secara lisan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak yang berperkara yang dipanggil kepengadilan
Yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: Keluarga sedarah semenda, Istri atau suami meskipun bercerai, Anak-anak dan Orang gila
3. Bukti persangkaan yaitu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal, kearah suatau peristiwa yang belum terbukti yang menarik kesimpulan hakim.
4. Bukti pengkuan yang merupakan suatu pernyataan dari salah satu pihak tentang kebenaran suatu peristiwa, keadaan hal tertentu yang dapat dilakukan di dalam sidang maupun diluar sidang, pengakuan ada dua yaitu pengakuan klausa dan pengakuan klasifikasi.
5. Bukti sumpah yaitu suatupernyataan yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengingat atau sifat maka kuasanya tuhan. Sumpah disisni keterangan yang diberikan hakim kepada para pihak. Dalam hukum perdata ada 3 sumpah yaitu:
a) Sumpah pelengkap atau tambahan (suppletori) sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatan kepada salah satu pihak untuk melengkapi hukum pembuktian;
b) Sumpah penaksiran/ sangkaan
c) Sumpah pemutus (decsoir) sumpah yang dibebankanatas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.
Hukum pembuktian yang termasuk dalam hukum acara, terdiri dari unsur hukum formil yaitu pembuktian yang mengatur cara mengadakan pembuktian. Dan unsur hukum materil yaitu pengakuan tentang diterima atau tidaknya pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu.

F. Penyusun Konklusi (kesimpulan para pihak)
Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim para pihak boleh mengajukan konklusi (kesimpulan dan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung). Karena sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan lagi perkara-perkara simple, sehingga hakim boleh meniadakannya.

G. Musyawarah Majelis Hakim
Menurut UU No 14 Tahun 1970 bahwa musyawarah majlis hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum, dikatakan rahasia artinya dikala musyawarah maupun sesudahnya kapan dan dimana saja musyawarah majelis tersebut tidak boleh diketahui sampai dia mengucapkan yang terbuka untuk umum.
Hasil keputusan majelis hakim ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera sidang dan ini merupakan lampiran BAS dan inilah yang akan dalam dictum pendinginan

H. Putusan Hakim
Putusan majelis hakim di PA dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, setelah adanya pemeriksaan dan pembuktian suatu perkara yang tersusun rapi dan yang ditandatangani oleh semua hakim kecuali panitera.
Setelah keputusan itu diucapkan, hakim ketua majelis menanyakan kepada para pihak, apbila mereka menerima keputusan maka baginya tidak ada upaya hukum banding, sebaliknya bila merke amau menerima keputusan hakim, maka baginya untuk berfikir dahulu, pernyataan tersebut dicantumkan dalam BAS
Terhadap pihak yang tidak hadir ketika putusan diucapkan, maka tentu saja harus dibertahukan keputusan tersebut kepadanyam, upaya hukum banding, bagi para pihak yang hadir dan belum menerima putusan atau masih berfikir-fikir dahulu, baginya mereka berlaku upaya hukum banding 14 hari sejak jatuhnya palu putasan hakim.
Sedangkan Pengadilan Agama memeriksa perkara dan mengadilinya kemudian mengakhiri dengan mengeluarkan prodak berupa putusan yang merupakan pernyataan seorang hakim, sebagai pejabat negara yang berwenang dan diucapkan dimuka sidang.
Adapun yang dimuat dalam putusan itu adalah:
a. Kepala putusan b. Pertimbangan hukum
b. Identitas para pihak c. Diktum putusan
c. Duduk perkara
Putusan pengadilan mempunyai tiga kekuatan, yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan bukti, dan kekuatan eksekusi. Suatu putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukum apabila hukum biasa tidak dilakukan dengan tenggang waktu untuk melakukannya telah habis. Sedangkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, walaupun upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tidak dapat menghalangi eksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekutorial.





























BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Pengadilan Agama untuk kabupaten Bandung pada masa penduduk Belanda, tepatnya pada tahun 1882 telah terbentuk dengan sebutan raad agama, dengan “ kantor” di Mesjid Agung Bandung (kaum), setelah Indonesia merdeka, hal yang menyangkut hukum diberlakukan aturan. selama belum diatur hukum yang baru maka hukum yang lama masih di berlakukan, demikian pula dengan keberadaan Pengadilan Agama di kabupaten Bandung, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Baru pada tahun 1967 dengan keputusan menteri agama RI nomor 28 1967 tanggal 15 Maret dibentuklah Pengadilan Agama kabupaten Bandung di Cimahi, sebagai cabang Pengadilan Agama Bandung di Cimahi, dengan wilayah hukum meliputi wilayah kabupaten Bandung
Lokasi atau tanah tempat berdirinya gedung Pengadilan Agama Cimahi adalah merupakan tanah milik kelurahan Cimahi seluas 510 M2 dengan hak sewa berdasarkan SK.Gubernur \dt. 1 Jawa Barat No 556/pm/130/SK/176 Tgl 16 desember 1976
Tujuan pokok Pengadilan Agama yaitu mengurus masalah perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadaqah, izin beristri lebih dari seorang, izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat, dispensasi kawin, pencegahan perkawinan, penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah, pembatalan perkawinan, gugatan perceraian penyelesaian harta bersama mengenai penguasaan anak-anak ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya, penentuan kewajiban memberik biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri, putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali cicabut. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaanya, penetapan asal usul seorang anak, putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, pernyataan tentang sahnya perkawinan (isbath nikah) yang terjadi sebelum undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dijalanan menurut peraturan yang lain.dan ditambah dengan permasalahan yang menyangkut ekonomi syariah yang terdapat pada pasal 49 UU No 3 Tahun 2006
Adapun bidang kewarisan sebagaimana tersebut diatas, adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

B. Saran
Tugas Pengadilan Agama adalah menyesaikan perkara dibidang keperdataan untuk agama Islam. mempunyai hukum yang sering atau selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan perbuatan yang sering dilakukan atau diperbuat. Semuanya itu telah diatur oleh Islam, karena sifat hukumnya sangat fleksibel, jadi dalam perbuatan yang dilakukan pun bukan saja masalah keperdataan tetapi juga dalam bidang jinayah, siyasah
Saran penulis kepada pemerintah diusahakan bahwa diPengadilan Agama itu tidak hanya melaksanakan hukum keperdataan saja tetapi jinayah dan yang lainya pun bisa direalisasikan guna mempertahankan firman Allah dan rasulnya, agar kehidupan masyarakat khususnya umat Islam dan umumnya masyarakat selain Islam bisa terjalin ketentraman dan keamanan yang baik
Pengadilan merupakan wadah atau tempat orang mencari keadilan, sama halnya dengna Pengadilan Agama Cimahi yang berorientasi memberikan keadilan hanya untuk masyarakat yang berdomisili dalam wilayah Cimahi. Dalam aplikasi tugasnya sebagai staf atau karyawan lainnya berikut seorang hakim agar lebih professional dalam tugasnya penulis mengharapkan agar tata tertib sebagai pegawai harus dijunjung tinggi karena setiap orang yang berperkara akan melihat kedisiplinan seorang pegawai. Seorang hakim harus memberikan keputusan yang seadil-adilnya karena itu merupakan kewajiban seorang hakim
Untuk lebih memotivasi pekerjaan sebaiknya fasilitas yang kurang atau yang tidak dipakai harus segera diganti dengan yang baru atau yang lebih layak dipakai, supaya para pegawai lebih semangat dalam mengurus pekerjaannya.

Jumat, 18 Maret 2011

Jarimah Pencurian

A. Pengertian Mencuri

Secara bahasa, mencuri berarti mengambil secara diam-diam. Sedangkan secara istilah banyak pendapat yang mengemukakan definisi mengenai mencuri :

1. Menurut Sabiq (1973:468), mencuri adalah mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi.

2. Menurut Ibnu Arafah, orang arab memberi definisi, mencuri adalah orang yang datang dengan sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan barang orang lain untuk mengambil apa-apa yang ada di dalamnya yang pada prinsipnya bukan miliknya.

3. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, mencuri adalah mengambill barang orang lain (tanpa izin pemiliknya) dengan cara sembunyi-sembunyi dan mengeuarkan dari tempat penyimpanannya.

4. Menurut Al-Jaziri (1989:756), mencuri adalah prilaku mengamsil barang orang lain minimal satu nisab atau seharga satu nisab, dilakukan orang berakal dan baligh, yang tidak mempunyai hak milik ataupun syibih milik terhadap harta tersebut dengan jalan sembunyi-sembunyi dengan kehendak sendiri tanpa paksaan orang lain, tanpa perbedaan baik muslim, kafir dzimni, orang murtad, laki-laki, perempuan, merdeka ataupun budak.

B. Rukun dan Syarat Pencurian

Suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai prilaku pencurian apabila memenuhi keempat rukun dan syarat, meliputi : pencuri, barang yang dicuri, cara melakukan pencurian, dan tempat penyimpanan barang yang dicuri.

Menurut Sabiq (1973:490-493), syarat-syarat pencurian itu meliputi : pertama, orang yang mencuri harus mukalaf, artinya anak kecil dan orang gila tidak termasuk. Kedua, pencurian dilakukan atas kehendak sendiri, tidak ada sedikit pun paksaan dari orang lain. Ketiga, pencuri tidak memiliki harta syubhat terhadap barang yang dicuri, seperti contoh : orang tua yang mencuri harta anaknya tidak bisa dijatuhi hukuman, karena orang tua memiliki harta syubhat pada anaknya. Sabiq tidak mensyaratkan agama islam pada pencuri, meskipun pencuri itu beragama non-muslim, ia tetap di hadd sebagaimana haddnya orang islam.

Menurut Al-jaziri (1989:154-155), syarat pencuri yang harus dipotong tangan meliputi : baligh, berakal, tidak memiliki sedikit pun bagian terhadap barang yang dicuri, dan pencuri bukan penguasa atas harta yang dicurinya, seperti majika yang mecuri harta budaknya, begitu pula sebaliknya, maka tidak bisa dijatuhi hukuman, serta pencuri melakukannya atas kehendak sendiri, tidak ada sedikit pun paksaan. Ibnu Rusyd mengatakan (1990:649-650) bahwa fuqaha sependapat dengan persyaratan yang telah disebutkan tadi.

C. Syarat-Syarat Barang Curian

Menurut Sabiq (1973:493-497), syarat-syarat barang curian meliputi : pertama, barang yang dicuri tersebut berharga, bisa dipindahmilikkan dan sah apabila dijual. Kedua, barang yang dicuri mencapai satu nisab. Menurut Al-Jaziri (1989:155) : pertama, barang tersebut mencapai satu nisab. Kedua, barang tersebut buan milik pencuri. Ketiga, barang tersebut bisa dimiliki dan sah apabila dijaul. Keempat, barang tersebut sah dicuri. Dalam menanggapi pencapaian satu nisab, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat, bahwa satu nisab itu seperempat dinar emas atau tiga dirham dan perak. Ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah, yakni : “ diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW menjatuhkan hadd atas pencuri seperempat dinar “, dan pada riwayat Nassa’i dalam hadits marfu’, menjelaskan bahwa tidaklah dipotong tangan orang yang mencuri barang dibawah harga perisai atau tameng, di kala Aisyah ditanya tentang harga perisai atau tameng, ia menjawab bahwa harganya seperempat dinar. (Sabiq, 1973:495-496)