Home

Entri Populer

Sabtu, 05 Maret 2011

Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia (Masa Kesultanan)

Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia (Masa Kesultanan)

Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia pada hakikatnya berhubungan erat dengan proses perkembangan bangsa Indonesia, karena umat Islam merupakan bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan dari dua daerah yang berbeda, yaitu di daerah barat tepatnya di Banten ebagai penyebaran, dan di daerah timur tepatnya di Cirebon. Sedangkan Mataram merupakan Kerajaan terbesar yang berada di tengah pulau Jawa. Perkembangan peradilan juga muncul di Kerajaan Mataram, pada masa Sultan Agung.
1.     Dasar Penyelenggaraan peradilan di Kesultanan
Di Mataram, masa kepemimpinan Sultan Agung, seorang Raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya, pengaruh Islam masuk pada tata hukum yang diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata yang diubah menjadi Pengadilan Surambi, karena diadakan di serambi mesjid Agung. Dasar hukum penyelenggaraan peradilan pada masa kesultanan in adalah adanya pendelegasian wewenang dari Sultan kepada Penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Pengadilan pradata maksudnya perkara-perkara yang diadili oleh Raja dan diadakan di Negaragung, yaitu pusat pemerintahan di Ibukota Negara.
Di banten, masa kepemimpinan Sultan Hasanudin, pada abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi. Pendelegasian wewenang dari Raja kepada Kadhi.
Di cirebon, setelah pangeran Girilaya wafat dan meninggalkan tiga anaknya, sehingga Cirebon dibagi tiga, yang dipimpin oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, Panembahan Cirebon. Meski dibagi tiga, namun dalam permasalahan yang besar, mereka tetap bersama. Kemudian dalam menyelesaikan perkara, diserahkan kepada 7 menteri sehingga menjadikan pendelegasian wewenang dari ketiga sultan kepada 7 menteri tersebut untuk menyelesaikan perkara. Adapun ketujuh menteri ini adalah delegasi diantara 3 orang dari Sultan Sepuh, 2 orang dari Sultan Anom, dan 2 orang dari Panembahan Cirebon. Kemudian pada tahun 1688 terjadi perjanjian de hartogh merupakan dasar hukum sehingga mengubah pengadilan 7 menteri yang diganti menjadi pengadilan 7 jaksa.

2.     Kedudukan Pengadilan
Di Mataram, kedudukan pengadilan yang menjadi wewenang penghulu, tetap menjadi kekuasaan Sultan Agung, karena ditakutkan bertentangan pada hukum adat yang ada. Meski demikian, penyelesaian yang dilakukan Sultan tidak bertentangan dengan keputusan pengadilan surambi. Dan ini memang keputusan yang dikeluarkan oleh penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga Pengadilan Pradata tetap ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, ada kedudukan lain, yaitu adanya Pengadilan Penghulu yang sebagian besar wewenang pengadilan karta (jaksa) menjadi wewenang Penghulu.
Di Banten, kedudukan pengadilan yaitu dengan dipimpin oleh kadhi. Dalam putusannya, kadhi menetapkan putusan mengadili seseorang, manun kedudukannya tetap ada dibawah raja. Faktanya yaitu karena setiap adanya putusan dari Kadhi harus tetap disahkan oleh Raja.
Di Cirebon, kedudukan 7 menteri ada di bawah tiga Sultan, karena merupaka perwakilan dari ketiga Sultan. Ketujuh menteri ini yang setelah perjanjian de Hartogh itu berubah menjadi tujuh Jaksa, melakukan perbuatan mengadili orang yang berperkara dengan mengeluarkan keputusan yang diambil dari ketujuh jaksa secara bersama-sama yang disebut dengan surat bulat.

3.     Susunan Pengadilan
Pengadilan surambi ini dipimpin oleh penghulu yang mempunyai beberapa ulama sebagai anggota. Hal ini identik dengan musyawarah. Meski tidak sesuai dengan hukum Islam bahwa figur hakim hanya seorang saja, tetap saja Sultan Agung yang memberi keputusan. Hal ini dilakukan untuk memelihara faham kedaulatan, meski begitu, tetap saja keputusan berdasarkan atau tidak menyimpang dari nasehat putusan Pengadilan Surambi. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Susunannya berubah, karena Pengadilan Pradata telah ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa (karta) hanya mengadili perkara padu saja.
Pengadilan di Banten yang dikepalai oleh Kadhi tidak mempunyai susunan, karena pengadilan dipimpin hanya oleh seorang Kadhi saja. Adapun di Cirebon, susunan pengadilannya yaitu bahwa perwakilan dari ketiga penguasa itu berkedudukan sama. Jadi susunannya yaitu Tujuh Jaksa bersama-sama dalam surat bulat, kemudian apabila belum bisa di putuskan maka dilakukan dengan Sidang para Sultan yang setelah Cirebon menerima perjanjian itu, maka residen Belanda pun ikut hadir dalam sidang para sultan.

4.     Kekuasaan Pengadilan
Pengadilan di Mataram, yaitu pengadilan surambi yang dipimpin oleh penghulu dan dibantu dengan beberapa alim ulama. Pengadilan ini kebiasaan mengadili perkara-perkara mengenai perkara perkawinan dan kewarisan. Kekuasaan penghulu ialah memberikan keputusan-keputusan yang mempunyai arti suatu nasehat (adpis) kepada raja didalam mengambil keputusannya. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan,karena Menurut Amangkurat I, tradisi harus tetap dijalankan, karena wajib untuk memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkara Padu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa (karta) hanya mengadili perkara padu saja.
Adapun di Banten, kekuasaan Kadhi yang merupakan kekuasaan pengadilan tunggal, berkuasa mengadili perkara-perkara (hingga perkara hukuman mati) namun tetap kekuasaannya dibawah raja karena dalam pengesahannya memrlukan pengesahan dari raja.
Selain itu di Cirebon, yang pengadilannya dipimpin oleh tujuh menteri (tujuh jaksa), mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara yang merupakan hal-hal yang biasa (Tresna, 1978: 25). Adapun kekuasaan mengadili perkara tertentu yang menghasilkan keputusan bersama-sama dengan surat bulat. Adapun apabila salah satu tidak sepakat, maka pengadilan dialihkan kepada sidang para sultan.

5.     Hukum substantif
Hukum materiil yang digunakan di pengadilan mataram ialah kitab-kitab fiqh yang bermadzhab syafi’ karena Islam masuk pertama kali bermadzhab Syafi’i. Pada tahun 1645, kekuasaan beralih kepada Amangkurat I yang mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan, karena menurut Amangkurat I, wajib memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkara Padu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum.
Banten juga memakai hukum materiil yang sama dari Islamnya, adapun tetap terdapat hukum hindu yang merupakan adat dari zaman dahulu. Hukum hindu itu ialah hukuman mati yang dijatuhi oleh Kadhi.
Adapun di Cirebon, kitab hukum yang digunaka yaitu Papakem Cirebon yang didalamnya terdiri dari macam-macam ketentuan dari hukum Jawa-kuno. Diambi dari beberapa kitab, diantaranya Kitab huum Raja Niscaya, undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah, juga disebut Surya Alam.

6.     Hukum Acara yang ada
Hukum acara pada kesultanan Mataram belum ada hukum yang mengatur tentang acara pengadilan. Adapaun di banten pula, seperti itu. Adapun selain kedua kesultanan ini, Kesultanan Cirebon yang di dalam segala perkaranya, yang menjadi acara sidang menteri itu diputuskan menurut “undang-undang jawa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar