1. Pada
Masa Kerajaan Banten
Mulanya kerajaan Banten
takluk oleh Faletehan(yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung
Djati), kemudian Kerajaan pakuan-pajajaran, Sunda-kelapa dan tindakan terakhir
yaitu menduduki daerah cirebon. Yang kemudian, semua itu menjadi daerah taklukan
Kesultanan Demak. Dalam tahun 1552, beliau pindah ke Cirebon dan Pemerintahan
Banten diserahkan kepada anaknya dari pernikahannya dengan Nhay kawunganten.
Anak itu bernama Pangeran Sebakingking. Disebut Sultan Hasanudin. Beliau
berkuasa di kesultanan Banten selama 18 tahun (1552-1570).
Di banten inilah Islam
memang sudah masuk sejak dulu. Meskipun
hampir bersamaan memeluk agama Islam dengan Cirebon, tetapi Cirebon masih
terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno. Ini nampak dari
perbedaan dalam tat peradilan di kedua kesultanan itu. Pengadilan di Banten
disusun menurut pengertian Islam. jika sebelum tahun 1600 pernah ada
bentukan-bentukan pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Namun saat
Sultan Hasanudin memegang kekuasaan, sudah tidak ada lagi bekas dari hukum
hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang
dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum /
peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bawa hukuman mati
yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.
2. Pada
Masa Kerajaan Cirebon
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh
keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara
adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir.
Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M).
Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati, atau
juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah
Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat
dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
kesultanan cirebon dan banten, serta menyebarislam di majalengka, Kuningan,
kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada
tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaanIslam
cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon,
Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati
carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan
pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah
atauFadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan
cirebon sejak tahun 1568.[1]
Menurut pendapat Dr. Hazeu “undang-undang Jawa” yang dimaksud
dalam perjanjian de hartogh itu, ialah sekumpulan peraturan yang diterapkan
dengan pengetahuan Kumpeni kira-kira pada tahun 1717 atau 1715, atau barangkali
juga sudah sejak tahun 1689 atau 1699, tapi yang tidak merupakan suatu
pembukuan yang lengkap. Adapun kitab hukum yang agak lengkap, yang memuat juga
hukum materiil dan yang selanjutnya harus digunakan sebagai satu-satunya sumber
hukum tertulis guna pengadilan di Cirebon, ialah yang tetapkan lebih akhir,
yaitu baru di dalam tahun 1758. Kitab hukum inilah yag dikenal dengan sebutan Papakem
Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar