Home

Entri Populer

Selasa, 04 Januari 2011

ETIKA HAKIM

A. Pengertian Etika
Secara etimologi, etika seringkali dikaitkan dengan suatu tindakan yang baik dan atau berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika bersal dari bahasa Yunani yang berarti Ethos, dan etika diformulasikan sebagai sikap, kebiasaan, kepercayaan dari seseorang atau kelompok dengan seorang atau kelompok yang lain. Artinya, etika merupakan sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku. Magnis Suseno berpendapat bahwa etika atau filsafat moral adalah keseluruhan norma atau penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan ehidupannya.
Sedangkan profesi didefinisikan sebagai suatu pekerjaan/jabatan yang memerlukan pendidikan atau latihan yang maju dan melibatkan keahlian intelektual. Profesi adalah pekerjaan tetap dalam bidang tertentu berdasarkan
keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggungjawab dengan tujuan memperoleh penghasilan.
Berangkat dari rumusan tersebut, maka jabatan Hakim adalah juga suatu profesi karena memenuhi kriteria dan ukuran-ukuran seperti tersebut di atas. Seperti, pekerjaan tetap, bidang tertentu (memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara), berdasarkan keahlian khusus-(yakni dalam bidang hukum)-, dilakukan secara bertanggungjawab (yaitu kepada Allah SWT, negara, pencari keadilan dan tentu saja kepada ‘hati nurani’ ), dan memperoleh penghasilan (gaji, remunerasi).
Kaedah etika profesi adalah sesuatu yang universal, artinya berlaku di mana-mana, baik dulu maupun sekarang karena mengatur nilai-nilai moral, perilaku yang baik yang seharusnya selalu dipegang teguh oleh seorang yang berprofesi Hakim dalam menjalankan tugasnya. Sikap seperti itu seharusnya tidak cukup dijaga, tetapi dibugarkan (fitnesed) dan dikembangkan.
Ada empat macam etika profesi bagi seorang Hakim seperti dikemukakan Socrates, yaitu;
1. Mendengar dengan sopan, beradab (to hear courteously),
2. Menjawab dengan bijaksana dan arif (to answer wisly),
3. Mempertimbangkan, tak terpengaruh ( to consider soberly)
4. Memutus tak berat sebelah ( to diccide impartially).

Tetapi lebih menarik lagi jika kita melihat sejarah Islam, yaitu risalah Umar bin Khattab kepada Musa al-‘Asy’ary, seorang hakim di Kufah yang mengungkap etika profesi hakim dengan menyebutkan antara lain;
1. Mempersamakan kedudukan semua pihak dalam majelis, baik pandangan, sikap dan putusannya sehingga semua orang mendapat ‘rasa keadilan’ dari seorang hakim.
2. Upaya mendamaikan selalulah diusahakan terhadap mereka yang bersengketa, kecuali (kompromi) perdamaian untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Apabila mencermati hal-hal di atas menjadi seorang yang berprediket hakim bukanlah pekerjaan yang mudah. Profesi hakim menuntut adanya beberapa persyaratan yang harus ada dan dipenuhi seperti disebutkan dalam UU No 7/l989 jo UU No.3/2006 pasal 13 ayat (1) huruf c, f dan g untuk sekedar menyebutkan beberapa hal yang inti, yaitu;

1. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2. sehat jasmani dan rohani,
3. berwibawa,
4. jujur,
5. adil,
6. berkelakuan tidak tercela.

Hampir senada dengan itu, Ibn Taimiyah seperti dikutip mantan wakil Ketua MA-RI, Drs.H.Taufiq,SH,MH menyebutkan bahwa seorang hakim (apalagi pimpinan) haruslah dipenuhi empat hal, yaitu;
1. Al-qawiyu fil’ilmi (memiliki wawasan keilmuan intelektual yang memadai),
2. Al-qawiyu fil’amali (memiliki kesalehan sosial),
3. Al-qawiyu fil iradah (memiliki motivasi dan semangat yang tinggi),
4. l-qawiyu fil jasadi (memliki fisik yang prima).

Menjadi hakim memang harus tersaring dan terjaring dengan obyektip dan selektip. Dari sinilah pentingnya membangun manajemen rekruetmen hakim secara sistimatis, cermat dan transparan. Hal ini dapat kita jumpai dalam proses selektifitas rekruetmen seorang calom hakim seperti dicontohkan Rasulullah SAW saat akan mengangkat Muadz bin Jabal untuk menjadi Hakim/ Gubernur di Yaman.
”Dengan apa engkau akan memutussuatu perkara yang dihadapkan kepadamu ya Muadz? Kata Nabi. Jawab Muadz, saya akan memutus suatu perkara dengan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an. Jika didalam al-Qur’an tidak engkau temukan ? tanya Nabi, Muadz menjawab, saya akan memutus perkara itu dengan apa yang ada dalam al-Hadits. Jika dalam al-Haditspun tidak engkautemukan ? tanya Nabi lagi, Jawab Muadz, saya akan mengambil putusan dengan akal/nalar saya (Ijtihad).
Mendengar jawaban Muadz tersebut Rasulullah SAW memberikan apresiasi dan bangga atas sikap dan pemahaman terhadap tahapan-tahapan proses pengambilan putusan sekaligus struktur hukum yang tersedia. sebuah isyarat atau sinyal kuat seperti yang kita kenal sekarang ini dengan istilah “fit and proper test” (uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap Muadz. Hal ini sekaligus membuktikan sejarah kepemimpinan dalam Islam bahwa setiap calon pemipin yang merupakan wujud “jabatan publik” haruslah mempunyai kualifikasiyang memadahi.
Mengkritisi kondisi institusi pengadilan saat ini yang tengah dilanda berbagaimasalah yang tidak menguntungkan baik kritikan-kritikan pedas, hujatan-hujatan baik terhadap sistem peradilan maupun terhadap ‘oknum’ yang dipandang telah meninggalkan kaedah-kaedah penegakkan keadilan dan lain-lain yang serba takmengenakkan kita.
B. Tata Cara Menjatuhkan Hukuman
Peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa didasarkan kepada berbagai hal dan pertimbangan, yaitu:
a. Didasarkan kepada hasil pemeriksaan perkara di dalam siding peradilan. Kemudian para hakim mengambil kesimpulan dari pemeriksaan tersebut, lalu menjatuhkan hukuman
b. Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur yang benar.



C. Etika Hakim
a. Sebaiknya ia berkantor ditengah-tengah negri, ditempat yang diketahui orang dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat, sehinga masyarakat mudah mendapatkan pelayanan peradilan
b. Hendaklah ia menganggap sama terhadap orang-orang yang berperkara. Baik dalam pelayanannya, tempat yang diberikan, berbicara terhadap mereka dan lain-lain. Bahkan persamaan ini menurut para ulama hukumnya wajib. Hal ini, antara lain telah telah ditashih dalam mazhab Syafi’i.
Rasulullah SAW bersabda:
ﻋﻥﻋﻠﻲﻗﺎﻝﻠﻲﺭﺴﻭﺍﷲﺼﻠﻲﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺴﻠﻡﺇﺫﺍﺘﻘﺍﺼﻰﺇﻠﻴﻙﺭﺠﻼﻥ ﻓﻼﺘﻘﺼﻰﻠﻸﻭﻝﻝﺤﺘﻰﺘﺴﻤﻊﻜﻼﻡﺍﻵﺨﺭﻓﺴﻭﻑﺩﺭﻱﻜﻴﻑﺘﻘﻀﻰﻰ
(ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺙﺭﻤﻴﺫﻯﻭﺃﺤﻤﺩ ﻭﺃﺍﺒﻭﺩﺍﻭﺩ)

Artinya:
Dari Ali ra, ia berkata: Rasulullah SAW brkata kepada ku “apabila ada dua orang minta putusan kepadamu, janganlah kamu menjatuhkan putusan untuk yang pertama kalau kamu belum mendenga penjelasan dari yang lainnya, nanti kamu akan mengerti bagaimana caranya member putusan (HR Tirmidzi, Ahmad dan Abu Daud)
c. Jangan memutuskan hukum dalam keadaan:
1). Sedang marah
2). Sedang sangat lapar dan haus.
3). Sedang sangat susah atau sangat gembira.
4). Sedang sakit.
5). Sedang menahan buang air
6). Sedang mengantuk.
Rasulullah SAW bersabda:
ﻻﻴﻘﻀﻴﻥﺤﻜﻡﺒﻴﻥﺇﺜﻨﻴﻥﻭﻫﻭﻏﻀﺒﺎﻥ(ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺠﻤﺎﻋﻪ)
Artinya:
Janganlah Hakim menghukum antara dua orang sewaktu ia marah. (HR. Jamaah)
Dengan hadis diatas ulama mengambil ukuran, bahwa hakim hendaknya tidak memutuskan perkara apabila sedang terjadi sesuatu yang membimbangkan pikirannya.

d. Tidakboleh menerima pemberian atau hadiah dari orang-orang yang sedang berﻭperkara, yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani, sebab hal ini akan menghilangkan obyektifitas keputusan. Hadiah dari orang yang sedang berperkara akan mempengaruhi kejiwaan hakim dan ini bias dikatakan sebagai suapan, yang pada akhirnya dapat mengubah keputusan hakim.
Rasulullah SAW bersabda:
ﻠﻌﻥﺍﷲﺍﻠﺭﺍﺸﻲﻭﺍﻠﻤﺭﺘﺴﻲﻓﻰﺍﻠﺤﻜﻡ(ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺙﺭﻤﻴﺫﻯﻭﺃﺤﻤﺩ ﻭﺃﺍﺒﻭﺩﺍﻭﺩ)
Artinya:
Allah melaknat orang yang menyogok dan orang yang (mau) disogok dalam masalah hukum. (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Abu daud)

D. Kesimpulan
Etika bersal dari bahasa Yunani yang berarti Ethos, dan etika diformulasikan sebagai sikap, kebiasaan, kepercayaan dari seseorang atau kelompok dengan seorang atau kelompok yang lain. Artinya, etika merupakan sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku Hakim hendaknya tidak memutuskan perkara apabila sedang terjadi sesuatu yang membimbangkan pikirannya.
Kaedah etika profesi adalah sesuatu yang universal, artinya berlaku di mana-mana, baik dulu maupun sekarang karena mengatur nilai-nilai moral, perilaku yang baik yang seharusnya selalu dipegang teguh oleh seorang yang berprofesi Hakim dalam menjalankan tugasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar