Keputusan Pengadilan
Keputusan pengadilan merupakan bentuk dari penerapan hukum dari peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan peristiwa tersebut merupakan perkara yang merupakan kompetensi absolut pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama. Penerapan hukum itu merupakan pengambilan hukum dari hukum yang bersifat umum, kepada peristiwa hukum yang bersifat khusus. Menurut Cik Hasan Bisri (2003: 252), “Berkenaan dengan hal itu, terdapat tiga unsur dalam keputusan pengadilan itu. Pertama, dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam keputusan pengadilan. Kedua, proses pengambilan keputusan pengadilan. Ketiga, produk keputusan pengadilan. Unsur ketiga sangat tergantung kepada unsu pertama dan kedua”.
Produk Pengadilan Agama berupa Putusan, Penetapan dan Akta perdamaian. Selain itu, ada pula produk Pengadilan Agama yang bukan merupakan produk sidang tetapi berkekuatan hukum tetap seperti putusan sebagai akta otentik, yaitu, akta komparasi dan akta keahliwarisan.
Dalam buku Mukti Arto (2008: 251), bahwa:
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemerksaan perkara permohonan (voluntair). (Lihat penjelasan pasal 60 UU-PA).
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang berisi hasil musyawarah antara pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Sedangkan menurut Umar Mansyur (2007: 172), “Putusan adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim – sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu – diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”.
Menurut Cik Hasan Bisri (1997: 65), bahwa “Secara sederhana keputusan pengadilan itu meliputi unsur (1) sumber hukum tertulis, (2) sumber hukum tidak tertulis, (3) hukum tertulis, (4) hukum tidak tertulis, (5) perkara (legal case), dan keputusan pengadilan”.
Macam-macam Putusan menurut Mukti Arto (2008: 252),
Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Putusan akhir, dan
2. Putusan sela.
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Putusan gugur,
2. Putusan verstek, dan
3. Putusan Kontradiktoir.
Jika dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/perkara ada 2 (dua) macam, yaitu positif dan negatif, yang dapat dirinci menjadi 4 (empat) macam:
1. Tidak menerima gugatan Penggugat ( = negatif).
2. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ( = negatif).
3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya ( = positif dan negatif).
4. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya ( = positif).
Dan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Diklaratoir, yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum.
2. Konstitutif, yaitu putusan yang menciptaan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan hukum sebelumnya.
3. Kondemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi.
Menurut Umar Mansyur (2007: 174), putusan sela terdiri dari: (1) Putusan Preparator, (2) Putusan Interlucutoir, (3) Putusan Provisionil, (4) Putusan Insidentil. Dalam tulisan Mukti Arto (2008: 251), “Selain itu, ada pula produk Pengadilan Agama yang bukan merupakan produk sidang tetapi berkekuatan hukum tetap seperti putusan sebagai akta otentik, yaitu: (1) Akta Komparasi, dan (2) Akta Keahliwarisan”.
Surat putusan terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu: kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang “Duduknya Perkara” dan “Pertimbangan Hukum”, dan amar atau diktum putusan. Kekuatan putusan hakim ada (3) macam, yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
Secara rinci, harus memuat: (1) judul dan nomor putusan, (2) tanggal putusan, (3) kepala putusan, (4) nama dan tingkat peradilan yang memutus perkara, (5) tentang duduknya perkara, (6) tentang hukumnya/pertimbangan hukum, (7) amar putusan, (8) pembebanan biaya perkara, (9) hubungan amar dan petitum, (10) tanggal putusan dan pengucapan putusan, (11) penandatanganan putusan, (12) pembendelan (13) pemberitahuan isi putusan, (14) catatan kekuatan hukum tetap, (15) salinan putusan, (16) format surat putusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar