Penegakan Hukum
Dalam tulisan Satjipto Rahardjo (2006: 181) bahwa penegakan hukum merupakan proses pelaksanaan secara kongkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, setelah tahap pembuatan hukum. Menurut Jimly (2011) Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Jimly (2011) dalam tulisannya:
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Terdapat empat unsur di dalam penegakan hukum, yaitu: Perangkat hukum, penegak hukum, kesadaran hukum, dan sarana penunjang. Yang dimaksud dengan perangkat hukum adalah peraturan yang berlaku, yang dalam hal ini hukum substansi (materil) dan hukum acara (formil) yang keduanya merupakan sumber hukum sebagai bahan rujukan oleh Hakim dalam memutus perkara pengadilan.
Menurut C.S.T. Kansil (1992: 19), “sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa”. Hukum substansi dan hukum acara itu berupa peraturan perundangan yang merupakan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selanjutnya dalam tulisan C.S.T. Kansil (1992: 43), bahwa hukum tertulis (statute law = written law), yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-peraturan. Sedangkan hukum tak tertulis (unstatutery law = unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetai tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan-perundangan (disebut juga hukum kebiasaan).
Menurut C.S.T. Kansil (1992: 45) bahwa hukum substansi ini memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan berwujud perintah dan larangan. Sedangkan hukum formal adalah hukum yang memuat peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materil. Selanjutnya pengertian hukum acara menurut Soeroso (2004: 3) adalah “peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materil”. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun menurut Wirjono Prodjodikoro (1980: 13) sebagaimana dikutip Cik Hasan Bisri (2003: 242), hukum acara perdata adalah “Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.
Dalam buku tulisan Mukti Arto (2004: 12), bahwa Sumber-sumber hukum acara Peradilan Agama itu diantaranya: (1) HIR/R.Bg. (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (3) UU Nomor 14 Tahun 1970, (4) UU Nomor 14 Tahun 1985, (5) UU Nomor 1 Tahun 1974 Jo. PP Nomor 9 Tahn 1975, (6) UU No. 20 Tahun 1947, (7) Inpres No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam), (8) Peraturan Mahkamah Agung RI, (9) Surat Edaran Mahkamah Agung RI, (10) Peraturan Menteri Agama, (11) Keputusan Menteri Agama, (12) Kitab-kitab Fiqh Islam dan Sumeber Hukum tidak Tertulis lainnya, dan (13) Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Unsur yang kedua yaitu penegak hukum. Penegak hukum ini berarti orang atau petugas yang mempunyai tugas menegakkan hukum yang bersumber dari sumber-sumber hukum yang berlaku. Menurut Zainuddin Ali (2010: 63), bahwa “di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya”.
Adapun petugas yang berwenang mengadili perkara pada pengadilan agama yaitu Hakim. dalam melaksanakan tugas dalam sidang yaitu Majelis Hakim, yang terdiri dari Hakim Ketua, dan dua Hakim Anggota. Memeriksa, mengadili, memutus perkara harus di sertai dalil-dalil, alasan-alasan, serta dasar hukum yang tercantum dalam perundang-undangan, maupun dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Kemudian dalam tulisan Zainuddin Ali (2010: 64), bahwa kesadaran warga negara untuk mematuhi peraturan merupakan faktor yang penting bagi pengefektifan suatu peraturan perundangan. Karena hukum akan berfungsi apabila derajat kepatuhan masyarakat akan hukum itu besar. Selain kinerja dari pelaksanaan penegak hukum , maka harus diimbangi dengan keberadaan sarana prasarana yang memadai sehingga menunjang dari proses untuk mencapai produk pengadilan agama berupa penetapan, putusan, atau akta perdamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar