FIQH JINAYAH
RESUME JARIMAH ZINA
Diajukan sebagai salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah Fiqh Jinayah
Disusun Oleh :
AHMAD TAUFIK SENJAYA
208 300 922
AS-PI/III
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009
PEMBAHASAN
1. Pengertian zina
Ulama malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wathi-nya seorang laki-laki mukalaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri mamuaskan hawa nafsu.
Konsep syariat ini adalah untuk mencegah menyebarluasnya kecablan dan kerusakan akhlak serta untuk menumbuhkan pandangan bahwa perzinaan itu tidak mengorbankan kepentingan perorangan, tetapi lebih-lebih kepentingan masyarakat.[1]
Para fuqoha sepakat bahwa yang dinamakan dengan zina adalah
كل وطء محرم زنا. [2]
Setiap peretubuhan yang diharamkan adalan zina
Ibnu Rusyd mendefinisikan zina sebagai persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah yang sah atau semunikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya.[3]
Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang oleh islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal prioritas, zina diharamkan dalam segala keadaan. Dan lebih dari itu, perzinaan dikategorikan sebagai suatu tindak pidana yang termasuk dalam kelompok jarimah hudud. Yaitu kelompok jarimah yang menduduki urutan teratas dalam hirarki jarimah-jarimah, ysng mengancamkan pelakunya dengan hukuman yang sangat berat, dan rata-rata berupa hilangnya nyawa, paling tidak hilangnya sebagian anggota tubuh pelaku jarimah.[4]
Dengan bahasa singkat, Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini (t.t.: 2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah memasukkan alat kelamin laki-laki kemudian dalam alat kelamin perempuan yang bukan haknya dan tidak ada syubhat. Sedangkan Al-Jaziri (1989: 49) menyatakan bahwa zina adalah persetubuhan seorang laki-laki yang mukallaf terhadap kelamin perempuan yang bukan milik dan bukan syibih milik yang menetapkan hurmat al-musharah, hubungan nasab dan hubungan susuan.
Lebih lanjut Sabiq (1973: 405) menegaskan bahwa batasan zina yang mengharuskan hukuman ialah masuknya kepala kemaluan laki-laki (atau seukuran kepala kemaluan itu bagi orang yang terpotong kemaluannya) kemudian dalam kemaluan wanita disetubuhi orang laki-laki yang bersangkutan, tanpa ada hubungan pernikahan antara keduanya sekaligus tanpa keluarnya sperma. Tetapi jika terjadi perbuatan mesum antara seorang laki-laki dengan wanita tanpa menyentuh daerah “terlarang”, maka atas perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhkan hukuman zina, melainkan hanya hukuman ta’zir.[5]
Dalam hubungan ini Rasulullah Saw. Bersabda : “diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, katanya ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Saw., is mengatakan, sesungguhnya aku telah mengobati seorang wanita yang tinggal di luar kota. Pada waktu itu aku melakukan sesuatu dengannya, tetapi tidak sampai menyetubuhinya. Aku pasrahkan diriku padamu yaa Rasulullah, silahkan kau hukumi aku sebagaimana mestinya. Mendengar cerita atau laporannya itu, berkatalah Umar ra. Allah akan menutupimu seandainya engkau menutupi dirimu sendiri. Pada waktu itu Rasulullah Saw. tidak mengatakan atau berbuat sesuatu, sehingga laki-laki itu pun berlalu. Kamudian Rasulullah Saw. memanggil kembali laki-laki tadi agar menemui beliau. Kemudian nabi pun segera membacakan firman Allah dihadapan laki-laki itu yang artinya : “Dan dirikanlah shalat itu pada kebua tepi siang (pagi dan petang) dan bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang yang mau ingat. Kemudian bertanyalah salah seorang dari kami yang hadir ketika itu. Apakah ini untuk dia sendiri, ataukah untuk semua orang, maka Rasulullah menjawab: “Untuk semua orang”.”
2. Unsur-unsur zina
Adapun unsur-unsur zina ada dua, yaitu wathi haram dan sengaja atau ada itikad jahat. Dasar keharaman zina dalam syariat islam adalah firman Allah al-Mukminun (23):5-7.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrß$yèø9$# ÇÐÈ
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (6). Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. (7). Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Bahkan mendekatinya pun haram : Q.S. al-isra’ (17):32
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Disamping itu rasulullah SAW bersabda bahwa “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu brsepi-sepi dengan seorang perempuan (yang bukan mahram). Karena yang ketiga adalah syetan” (HR. Bukhari dan Muslim dari ibn Abas).
Ada beberapa aspek dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh para fuqoha.
1. Zina akar masalahnya berkaitan dengan masuknya alat vital laki-laki ke dalam alat vital perempuan.
2. Sealur dengan akibatnya yang dapat diterapkan encaman maksimal hukum rajam, maka penetapan perilaku zina harus benar-benar meyakinkan, tidak boleh terjadi syubhat di dalamnya.
3. Masalah zina juga tidak dapat dilepaskan dari aspek historis. Salah satu pernyataan pahit yang dihadapi oleh islam pada saat-saat awal dibawa oleh Rasulullah Saw. adalah berlakunya hukum dari budaya perbudakan. Percampuran orang merdaka dengan hamba sahaya.[6]
3. Sanksi
Sanksi zina itu bertahap sesuai daalam al-Qur’an. Pada permulaan Islam sanksi zina adalah ditahan di rumah sampai mati dan dicaci maki. Seperti dalam Q.S. an-Nisaa (4):15-16.
Lalu sanksinya di jilid seratus kali. Q.S. an-Nur (24):2. dan menurut hadits riwayat Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi SAW bersabda :
خُذُوْا عَنِّى خُذُوْا عَنِّى خُُذُوْا عَنِّى قِدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً . اَلْبِكْرُ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفُى سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ بِالْحِجَارَةِ .
“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah memberi jalan kepada mereka (wanita-wanita yang berzina itu) Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratis kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan janda (orang yang telah kawin) yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu”.
Hukuman bagi tsayyib (orang yang sudah menikah) adalah rajam artinya hukuman mati dengan dilempari batu, meskipun ada segolongan Azarqah dari khawarij berpendapat bahwa hukuman ini yaitu seratus kali jilid. Karena menurut mereka hadis ini tidak sampai pada tingkat mutawatir.[7]
Adapun alasan ulama yang menganggap cukup dengan dirajam bagi tsayyib adalah karena Rasulullah merajam Ma’is dan Ghamidiyah dan merajam seorang Yahudi dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa beliau menjilid mereka lebih dulu. Berdasarkan prinsip bahwa hukuman yang berat itu menyerap hukuman yang ringan. Pendapat ini dipegang oleh jumhur.
Adapun hukuman bagi homoseks, lesbian, onani, menggauli binatang, dan menggauli mayat, para ulama berbeda pendapat sesuai dengan perbedaan mereka mengenai apakah perbuatan itu zina ataukah bukan.
Hukuman bagi yang melakukan homoseks di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad hukuman bagi orang yang melakukan homoseks itu sama dengan hukuman orang yang zina. Yang memiliki sandaran yaitu Q.S. al-Ankabut (29):28. dan al-A’raf (7):81. namun menurut Abu Hanifah homoseks itu bukan zina meskipun perbuatan itu haram, dengan alasan bahwa: mencampuri wanita dari qubul disebut zina, sedangkan mencampurinya dari dubur disebut liwath. Perbedaan nama itu menunjukkan perbedaan maksud. Disamping itu, zina membawa rusaknya nasab, sedangkan homoseks tidak demikian.[8]
Lesbian merupakan suatu perbuatan jarimah, meskipun disepakati oleh para ulama bahwa hukumannya bukan had melainkan ta’zir. Demikian juga istimna’ (mengeluarkan sperma dengan tangan wanita).[9]
4. Alat Bukti
Alat bukti zina itu empat macam, yaitu :
a. Saksi
Seperti diperintahkan dalam QS. An-nisa : 15 yang menyebutkan “hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)” adapula pada QS. An-nur : 13.
Dan adapun syarat-syarat menjadi saksi adalah :
1. Baligh, Allah berfirman “dan persaksikanlah dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantara kamu)”(2 : 282). Adapun kebolehan anak menjadi saksi dengan syarat telah muwayiz dan bila tidak ada saksi yang dewasa ini menurut Imam Maliki boleh dalam keadaan darurat.
2. Berakal, maksudnya tidak gila atau tidak dungu
3. al-Hifzhu, mampu mengingat, tidak pelupa.
4. Dapat Berbicara, bila bisu, maka menurut Madzha maliki dapat diterima bila dimengerti, menurut madzhab Hanafi tidak dapat diterima sama sekali.
5. Bisa Melihat, madzhab Hanafi tidak menerima, namun bila persaksian menurut pendengaran bukan penglihatan maka dapat diterima. Sama halnya madzhab Syafi’iyah membolehkan, namun tidak diterima bila berkaitan dengan perbuatan yang harus mengetahui peristiwa dengan penglihatan.[10]
6. Adil(QS. Ath-Thalaq:2), menurut Hanafiyah, adil disini adalah teguh memegang urusan Islam. Dewasa dalam berfikir dan tidak menuruti hawa nafsunya. Dan batas terendah bagi kriteria adil adalah kuat memegang agama dan akal sehat daripda keigninan hawa nafsu.[11] Menurut Malikiyah, memelihara diri agar tidak melakukan dosa besar dan kecin serta dapat dipercaya dan baik perilakunya.[12] menurut Syafi’iyah, tidak melakukan dosa besar dan kecil. Meskipun melakukan dposa kecil namun jarang, maka persaksiannya dapat diterima.[13] Menurut Hanabilah, adil adalah sikap pribadi yang mentap dalam hal agama, perkataan, dan perbuatannya. Cirinya yaitu selalu melaksanakan sesuatu yang wajib dan sunnahnya. Memelihara muru’ah dan kepatutan kemanusiaan.[14]
7. Islam, ini adalah prinsip umum para fuqoha. Ssedangkan kalaupersaksian nonmuslim kepada muslim, tidak dapat diterima menurut kebanyakan ulama.
Adapun yang menghalangi persaksian adalah adanya hubungan keluarga antara terdakwa dengan saksi, kemudian persaksian orang yang memusuhi terdakwa atas dasar urusan duniawi. Bila atas dasar agam, maka tidak menghalangi persaksian. Oleh karena itu, persaksian orang muslim terhadap nonmuslim dapat diterima. Dan adanya hal-hal yang dianggap dapat memperringan atau memperberat tuntutan terhadap terdakwa, misalnya persaksian hamba terhadap majikannya. Adapun haditsnya :
لاتقبل شهادة خصم ولاظنين ولا ذىحنة
“tidak diterima persaksian musuh, orang yang dicurigai dan orang yang mempunyai hukungan kasih sayang dengan terdakwa” (HR. Abu Daud dari Ibn Umar).
Adapun saksi zina, yaitu : empat orang laki-laki(2 : 282), menyaksikan secara langsung dengan mata kepala sendiri yang sesuai denga prinsip “hindari had-had bilamana ada syubhat”, tidak kedaluwarsa (menurut imam Abu Hanifah, namun menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Zhahiri tidak mengenal adanya kadaluwarsa bagi persaksian), persaksian diberikan dalam satu majelis(menurut Imam Malik, Imam, Abu Hanifah dan Imam Ahmad, namun berbeda dengan Imam Syafi’I yang tidak mensyaratkan kehadiran para saksi dalam satu majelis), dan harus meyakinkan Hakim tentang telah terjadinya perzinaan.
b. Pengakuan
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan ini harus empat kali karena diqiyaskan kepada empat orang saksi. Menurut Iama Malik dan Imam Syafi’i, pengakuan cukup sekali, karena ini merupakan berita dan berita itu tidak perlu pengulangan. Disyaratkan pengakuan ini harus terinci dalam menjalankan peruatannya supaya tidak menimbulkan syubhat. Imam Abu Hanfah mensyaratkan pengakuan itu harus diucapkan di muka persidangan, sedangkan Imam yang lainnya membolehkan diucaplan di muka sidang maupun di luar sidang(diluar sidang harus pada dua orang saksi).
c. Qarinah (indikasi tertentu)
Qarinah adalah beberapa indikasi atau tanda-tanda yang bisa dijadikan bukti dan dapat dijadikan pengakuan berupa ciri-ciri yang menyebabkan kearah perbuatan. Hal ini yag bisa dikembangkan dalam mencari bukti-bukti yang mengarah pada zina.
d. Li’an.
Li’an adalah Saling menuduh. Terjadi akibat tuduhan suami kepada istrinya bahwa istrinya telah melakukan perzinaan. Tuduhan ini tanpa kehadiran saksi, seperti disyaratkan untuk masalah perzinaan, yaitu empat orang saksi. Suami mengaku menyaksikan istrinya melakukan hubungan seksual dengan orang lain, sebagaimana layaknya saksi menyaksikan perbuatan zina. Atau suami mengingkari kandungan istrinya dan mengatakan bahwa ia selama sekian bulan tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan berbagai alasan.[15]
5. Pelaksanaan Hukuman
Bila seseorang pelaku zina telah berkali-kali melakukan perzinaan bru tertangkap, maka baginya cukup dijatuhi hukuman satu kali saja. Inilah yang disebut dengan teori tadakhul. Pelaksanaa ini harus terbuka, yakni yang dketahui umum, berdasarkan firman Allah SWT (QS. An-nur:2):
........( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“……..dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
Dan bila pelaksanaan hukuman itu pada wanita yang hamil, maka para ulama sepakat bahwa hukuman itu harus ditangguhkan sampai melahirkan. Dan bila anaknya tidak ada yang menyusui maka harus ditunggu sampai anaknya itu lepas menyusui. Hal ini sesuai prinsip umum yaitu hukuman itu berlaku secara individual, hanya atas orang yang berdosa saja. (QS. Al-An’am : 164).
6. Halangan-halangan Pelaksanaan
Hukuman tidak dapat dilaksanakan bila alat uktinya hanya berupa pengakuan dan yang bersangkutan menarik pengakuannya, atau alat buktinya adalah persaksian lalu salah seorang saksinya menarik persaksiannya sebelum dilaksanakan hukuman atau salah seorang yang berzina mendustakan pengakuan patner zinanya atau mengaku telah ada perzinaan sebelumnya bila alat buktinya berupa pengakuan.[16] Dan ini adalah menurut Imam Abu Hanifah.
Sedangkan menurut ketiga Imam lainnya mendustakan pengakuan patner zinanya itu tidak menghapuskan hukuman dan pengakuan telah adanya pernikahan itu juga demikian, kecuali bila didukung oleh bukti lain yang kuat.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur’an al-Karim
“Prof. Drs. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.1997. cetakan ke-2. hlm 35.
Dr. Jaih Mubarok, M.Ag., Enceng Arif Faisal, S.Ag., Kaidah Fiqh Jinayah (asas-asas Hukum Pidana Islam).2004.Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Cet ke-1.
Drs. H. Rahmat Hakim., Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).2000.Bandung: CV. Pustaka Setia.
Drs. H. A. Hasan Gaos dan Andewi Suhartini, M.Ag., Dasar-Dasar Fiqh Jinayah.2005.Bandung: CV. Insan Mandiri. Cet ke-1.
[1] Prof. Drs. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, hlm. 35
[2] Abd al-Qadir ‘Aqdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, (Bayrut: Muassasat al-Risalat, 1992), Jilid II, h. 346
[3] Drs. H. Rahmat Hakim, hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung:CV.Pustaka Setia, 2000 M/1421 H), hlm. 69
[4] Ibid, hlm. 70
[5] Drs. H. A. Hasan Gaos dan Andewi Suhartini, M.Ag., Dasar-Dasar Fiqh Jinayah., h. 89
[6] Ibid., hlm. 90
[7] Prof. Drs. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam., hlm. 43
[8] Ibid., hlm. 38
[9] Ibid., hlm. 40
[10] Ibn Hazm, al-Muhalla, IX, 433.
[11] Ibn Abidin, Hasyiyah ibn Abidin, IV, hlm. 225.
[12] Al-Syirazi, al-Muhadzab, II, 332.
[13] Ibid., 343.
[14] Ibn Hazm, al-Muhalla, IX, hlm.406.
[15] Drs. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam., hlm.183
[16] Prof. Drs. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, hlm. 63
Rabu, 29 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar